Total Pageviews

Translate

Saturday, December 29, 2012

Bom meldak di Demak Terroris dari Timor-Timur terbongkar. Bagian II

NASIONAL
GPK FRETILIN TINGKATKAN PELANGGARAN HAM DI TIMTIM Dili .
Ketua DPRD Tingkat I Timor Timur Armindo Soares Mariano berpendapat, ditemukannya 20 bom rakitan menandai upaya GPK Fretelin dan antek-anteknya untuk meningkatkan pelanggaran HAM di propinsi ini.
"Bila bom itu tidak berhasil disita oleh aparat keamanan maka akan terjadi pembunuhan keji yang mengakibatkan banyak orang Timtim yang tidak ikut berdosa menanggung resiko," katanya di Dili, Senin. Armindo mengemukakan hal itu ketika dimintai tanggapannya atas ditemukannya sebanyak 20 bom rakitan (setiap rakit berisi dua batang bom, red) di Dili yang dibawa oleh dua orang perakitnya dari Demak jawa Tengah Kedua pembawa bom itu masing-masing atas nama Constantio dan Paul ditangkap aparat keamanan ketika turun dari KM Tatamailau(15/9) yang sandar di Dermaga Pelabuhan Dili. Pembuatan bom itu dilakukan di Demak Awal Maret 1997 selama 1,5bulan. Seorang oknum warga Australia melatih empat orang wargaPropinsi Timtim merakit bom.
Dua orang perakit telah ditangkap dan dua lainnya kini beradadi Kedubes Austria untuk meminta suaka politik ke Portugal karenatakut setelah mendengar dua rekannya yang membawa bom ke Timtim sudah dicokok aparat keamanan. Armindo mengimbau, aparat keamaan di propinsi ini meningkatkan kewaspadaan terhadap gerak-gerik orang yang mencurigakan gunamenghindarkan jatuhnya korban dari orang-orang yang tidak berdosa.
Dia menilai, tindakan GPK Timtim yang selama ini mengganggu ketenangan hidup masyarakat bukan lagi sebagai "pengacau keamanan"tetapi sudah menjadi terorisme. "Mereka bukan lagi mau memperjuangkan kemerdekaan sendiri melainkan melakukan tindakan terorisme. Ditemukannya rakitan bom itu berarti ada maksud untuk meningkatkan terorisme di Timtim. Masak maumerdeka sendiri kok membunuh rakyat," ujarnya.
Dia menjelaskan, beberapa waktu lalu di Portugal terbit sebuahbuku yang menyebutkan bahwa sekelompok kecil GPK Timtim itu adalah separatis.
"Saat itu Ramos Horta sempat memprotesnya. Padahal sekarangsengaja atau tidak kebenaran tudingan sebagai gerakan separatis itu terbukti. Kebenaran muncul tanpa direncanakan," katanya.
Terorisme Masyarakat internasional harus mengetahui bahwa GPK Timtim telah melakukan tindakan terorisme yang mengganggu ketenangan hidup warga di propinsi ini. "Tolonglah para wartawan gencar mengekspos tindakan terorismedan anarkisme yang dilakukan sisa-sisa GPK Timtim itu supayamasyarakat internasional mengetahui kejahatan mereka," katanya.
Pada kesempatan terpisah Danrem 164 Wira Dharma Kol Inf Slamat Sidabutar mengatakan, daya ledak sepasang bom itu mampu menembus baja setelah 10 milimeter.
Tindakan terorisme oleh GPK Timtim meningkat sejak gembongnyaDavid Alex tertangkap bulan Juli 1997 lalu. "GPK merasa tidak ada tempat lagi dalam masyarakat, sebanyak 160 anggota klandestin di Lautem menyatakan mendukung integrasi melalui suatu upacara adat setempat," ujarnya.
Tetapi, kata Sidabutar, sisa-sisa anggota GPK dan antek-anteklainnya merubah aksinya dengan melakukan terorisme. Berturut-turut, pada bulan September menculik seorang warga yang sedang menggembala ternak dan mengolah sawahnya (24/9 dan31/9), membunuh warga sipil (karyawan Departemen PU Timtim) yangsedang membangun jalan (16/9), membunuh seorang guru dan melukai seorang guru lain (21/9).
Selain menyita 20 rakitan bom, enam buku-buku terlarang untuk merekrut orang-orang "sakit hati" di Timtim, sejumlah amunisi,kamera video, tape dan radio kecil, handphone, surat-surat dan uang Rp250 ribu dari Xanana yang akan dikirim ke hutan dan foto-foto yang mendeskreditkan ABRI.
Pihak Polda membawa bom secara profesional dan proporsional dan bersama PoldaJateng menuntaskan kasus bom rakitan tersebut. Sementara itu pihak pemerintah Indonesia sedang mengadakannegosiasi dengan Kedubes Austria di Jakarta dengan menjelaskan latarbelakang dua orang pelompat pagar di Kedubes tersebut, demikian Danrem Slamat Sidabutar. Berita Surat kabar indonesia Rabu, 22 Oktober 1997 _________________________________________________________________
Keterlibatan Ramos Horta Diusut
Jakarta, Kompas
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) ABRI Brigjen TNI Abdul Wahab Mokodongan mengemukakan, ABRI tengah mengusut keterlibatan penerima Nobel Perdamaian 1996, Jose Ramos Horta, dalam rencana teror, sabotase, penculikan, pembunuhan, dan perhadangan, yang akan dilakukan Fretilin di beberapa kota besar di Indonesia, dengan pusat di Semarang.
"ABRI memiliki beberapa petunjuk bahwa Ramos Horta, gembong gerombolan pengacau keamanan Timor Timur (GPK Timtim), terlibat dalam pembuatan bom rakitan di Demak, Jawa Tengah, yang dimotori oleh Sekjen AST (Associacio Socialista de Timor) Avelino Maria Coelho da Silva, alias Dr Shalar Kossi, dan Nuno Vicente Pereira Saldanha," kata Kapuspen dalam jumpa pers di Jakarta, hari Selasa (21/10).
Menurut Mokodongan, rencana terstruktur Fretilin melakukan berbagai aksi itu dimaksudkan untuk menciptakan disintegrasi dengan membentuk pasukan khusus teror Brigada Negra. Brigade ini dibentuk tanggal 25 Mei 1997 oleh AST, terdiri dari Seksi A, Seksi B, Seksi C, dan Seksi D.
"Seksi D bertugas melakukan teror, sabotase dan pembunuhan di wilayah RI dengan tujuan menciptakan instabilitas di Indonesia terutama di kota-kota besar di Jawa, Bali, dan Timtim," tuturnya.
Merakit bom
Terbongkarnya rencana Fretilin untuk melaksanakan aksi teror itu, papar Mokodongan, berawal dari ledakan bom rakitan yang terjadi 13 September lalu, di Perumahan Plamongan Indah Blok D/VII No 11, Demak, Jawa Tengah, yang dihuni oleh Nuno Vicente Pereira Sadanha (35), Joao Bosco Carceres (19) dan Lurindo Albino da Costa (22). Keterlibatan Ramos Horta itu terjadi tahun 1994. Ketika itu, Constancio Costa Dos Santos (Aquita) bergabung dengan GPK Klandestin FRETILIN -AST.
Untuk melaksanakan berbagai rencananya, tutur Kapuspen, tahun 1996 Dr. Shalar kossi mengontrakkan rumah untuk anggota Brigada Negra di Jalan Mahesa Timur II No 438, Semarang atas nama Constancio Costa Dos Santos, Joao Carceres, Laurindo Lourdez Da Costa dan Nuno Vicente. "Bulan Mei 1997, Dr. Shalar Kossi mendatangkan instruktur perakit bom bernama Geofrey, seorang warga negara Australia yang dibiayai seorang anggota jaringan GPK-Fretelin di Darwin, ceo Lopes," jelasnya.
Instruktur perakit bom ini memberikan kursus selama satu bulan (Mei s/d Juni) kepada empat anggota Brigada Negra Seksi B di Jalan Mahesa Timur itu. Bulan Juli 1997, mereka pindah ke Demak untuk tujuan yang sama, melakukan perakitan bom.
Tanggal 6 September 1997 atas perintah Xanana Gusmao melalui Avelino Maria Coelho Da Silva alias DR Shalar Kossi maka Constancio Costa Dos Santos berangkat ke Dili membawa 20 bom, 444 butir amunisi M-16, 21 amunisi pistol Colt, satu butir amunisi FN dan sejumlah dokumen. "Rencana untuk melakukan berbagai kegiatan teror ini berhasil digagalkan aparat keamanan setempat," katanya.
Menurut Kapuspen, saat terjadi peledakan bom di Perumahan Plamongan Indah, Demak, rumah tersebut hanya dihuni Joao Bosco Carceres yang kemudian melarikan diri, sedang Nuno Vicente masuk ke Kedutaan Besar Austria pada 19 September 1997 di Jakarta bersama lima orang lainnya. Kelima orang tersebut yakni Avelino Maria Coelho Da Silva (Sekjen AST), Sabina (istri Avelino), Adel Sea Maria Coelho da Silva (anak Avelino), Didina Maria Coelho Da Silva (anak Avelino) dan Costodio De Yesus Belo. Sebelumnya, pada 15 September, ujar Kapuspen ABRI, di Dili telah ditangkap dua anggota Brigada Negra, yaitu Constancio Costa Dos Santos (alias Aquita) dan Paulo Jorge Perira. Mereka ditangkap di Pelabuhan Dili dan dari mereka disita 20 bahan peledak, 44 butir peluru M-16, 21 butir peluru pistol Colt, peralatan perakit bom dan sejumlah dokumen (Kompas, 12/10). Saat itu juga disita fotokopi Manifes Politik Partai Sosialis Timor serta satu kamera video.
Lakukan pendekatan
Mokodongan juga menjelaskan, saat ini pihak Pemerintah Indonesia baik Departemen Luar Negeri maupun ABRI terus melakukan pendekatan kepada pihak Kedutaan Besar Austria di Jakarta untuk melepas warga Timtim yang telah meminta suaka politik. "Kami (ABRI-Red) telah memiliki banyak bukti bahwa mereka terlibat dalam berbagai aksi teror," ujarnya.
Namun demikian, untuk melakukan pendekatan kepada Kedubes Austria merupakan pekerjaan yang sulit. "Upaya pendekatan yang dilakukan ke Kedubes Austria itu tidak mudah. Untuk meyakinkan mereka, tidaklah mudah. Diperlukan bukti-bukti konkret," ujarnya. (ama) Rabu, 22 Oktober 1997 _________________________________________________________________
Ramos Horta Terlibat Aksi Ledakan Bom di Demak
Jakarta, Akcaya.
Gembong GPK Timtim, Ramos Horta, yang kini bermukim di luar negeri, terlibat dalam aksi pembuatan bom rakitan di Demak, Jateng, yang dimotori Sekjen Associacao Socialista de Timor (AST) Avelino Maria Coelho da Silva alias Dr Shalar Kossi dan Nuno Vicente Pereira Saldanha.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) ABRI Brigjen TNI Wahab Mokodongan mengemukakan hal itu kepada wartawan dalam suatu jumpa pers di Markas Besar ABRI, Merdeka Barat, Jakarta, Selasa.
"Peledakan bom di Demak itu dilakukan oleh kelompok teroris Brigada Negra yang merupakan pasukan khusus AST," kata Kapuspen ABRI. Sebelumnya, Wahab menjelaskan sebuah ledakan bom rakitan terjadi di Demak 13 September 1997 di Perumahan Plamongan Indah Blok D/VII Nomor 11 yang dihuni Nuno Vicente Pereira Sadanha (35), Joao Bosco Carceres (19) dan Lurindo Albino da Costa (22).
Keterlibatan Ramos Horta, menurut Kapuspen adalah pada tahun 1994. Ketika itu, Constancio Costa Dos Santos (Aquito) bergabung dengan GPK Klandestin AST pimpinan Saruntu dan Avelino Concelho alias Dr Shalar Kossi yang langsung berbubungan dengan Ramos Horta.
"Pada 25 Mei 1997, Dr Shalar Kossi sebagai Sekjen AST membentuk pasukan khusus teror yang disebut Brigada Negra, terdiri dari Seksi A, Seksi B, Seksi C, Seksi D dan Seksi D dengan tugas melakukan teror, sabotase dan pembunuhan di wilayah RI dengan tujuan menciptakan instabilitas di Indonesia," kata Brigjen Wahab.
Kapuspen lebih jauh mengatakan, pada tahun 1996 Dr Shalar mengontrakkan rumah untuk anggota Brigada Negra di Jalan Mahesa Timur II No. 438, Semarang atas nama Constancio Costa Dos Santos, Joao Carceres, Arlinda Da Costa dan Nuno Vicente. "Pada bulan Mei 1997, Dr. Shalar mendatangkan instruktur perakit bom, Geofrey, warga negara Australia yang dibiayai seorang anggota Fretelin di Darwin, Sio Lopes," kata Wahab.
Instruktur perakit bom ini memberikan kursus selama satu bulan (Mei s/d Juni) kepada empat anggota Brigada Negra Seksi B di jalan Mahesa Timur itu. Bulan Juli 1997, mereka pindah ke Demak untuk tujuan yang sama, melakukan perakitan bom. "Pada 6 September 1997 atas perintah Avelino Maria Coelho Da Silva, maka Constancio Costa Dos Santos berangkat ke Dili membawa 20 bom, 44 butir amunisi M-16, 21 amunisi pistol Colt, satu butir amunisi FN dan sejumlah dokumen," katanya.
Menurut Kapuspen, saat terjadi peledakan bom di Perumahan Plamongan Indah, Demak, rumah tersebut hanya dihuni Joao Bosco Carceres yang kemudian melarikan diri sedang Nuno Vicente masuk ke Kedutaan Besar Austria pada 19 September 1997 di Jakarta bersama lima orang lainnya.
Mereka adalah Avelino Maria Coelho Da Silva (Sekjen AST), Sabina (istri avelino), Adel Sea Maria Coelho da Silva (anak Avelino), Didina Maria Coelho Da Silva (anak Avelino) dan Costodio De Yesus Belo.
Sebelumnya, pada 15 September, ujar Kapuspen ABRI di Dili telah ditangkap dua anggota Brigada Negra yaitu Constancio Costa Dos Santo (alias Aquita) dan Paulo Jorge Perira. Mereka ditangkap di Pelabuhan Dili dan dari mereka disita 20 bahan peledak, 44 butir peluru M-16, 21 butir peluru pistol Colt, peralatan perakit bom dan sejumlah dokumen. Kapuspen mengatakan, kasus itu kini masih terus dikembangkan dengan Pemerintah RI telah meminta kepada Kedubes Austria agar enam orang GPK-FRETILIN Timtim yang berada di kedutaan itu diserahkan ke pemerintah RI untuk pengusutan lebih lanjut. (ant-12) AVELINO DA SILVA BESERTA KELUARGA DAN DUA ORANG KAWANNYA DISANDERA OLEH REJIM TANGAN BESI TANPA BATAS
Orang-orang Timor Yang "ditahan" Hampir Setahun di Sebuah Kedubes di Jakarta
Pada tanggal 19 September 1997, Avelino, Isteri dan kedua anak, dan dua kawannya meminta suaka di Kedutaan Besar Austria di Jakarta. Sampai sekarang, peristiwa serupa mengulang lembaran pertama suatu sejarah puluhan peminta suaka politik yang menginvasi "perwakilan-perwakilan diplomatik" yang ada di Indonesia, di mana mereka semua langsung diberangkatkan keluar negeri, Portugal. Dalam kasus Avelino, tak ada pesawat; sudah setahun lebih, para penguasa Indonesia masih menghalangi keberangkatan mereka ke tujuan yang dikehendaki mereka dan menekan Wina agar mereka diserahkan ke pihak Kepolisian Indonesia.
Desakan Jakarta yang menuduh Avelino sebagai tokoh yang berkaitan dengan jaringan perakitan bom masih menjadi jawaban tegas dari perwakilan Austria yang sampai sekarang masih bertahan akan tekanan untuk menyerahkan mereka. Dan Penguasa Tangan Besi tanpa batas ini yang kini masih memegang nasib para peminta suaka politik di Kedutaan Besar itu.
Di pertengahan September tahun lalu, sebelum Avelino beserta keluarga meminta suaka politik di Perwakilan Austria, pihak keamanan Indonesia melancarkan suatu ofensif besar terhadap para pemuda Timor Leste, dalam hal ini, yang tergabung dalam PST berkaitan dengan tekad mereka dalam suatu jaringan perakitan bom dengan inspirasi akan kemerdekaan Timor Leste.
Apa yang memungkinkan bagi para polisi untuk melancarkan penahanan dan pemburuan di mana Avelino adalah merupakan salah satu sasaran mereka (red. Polisi) yang menjadi aktor utama peladakan insidental di sebuah rumah hunian para mahasiswa di Demak, Jawa Tengah. Terhentak oleh insiden itu, para intelijen telah menemukan di kontrakan mahasiswa di Demak, sisa bahan kimia dan menahan 5 orang mahsiswa dan di Dili, ditemukan 20 bom siap pakai dan amunisi dan menahan 2 orang yang teridentifikasi terlibat dalam jaringan perakitan bom di bawah "BRIGADA NEGRA". Andaikata, Avelino tidak meminta suaka politik maka ia telahmenjadi salah seorang yang terdaftar dalam daftar para tahanan.
Pada Bulan Oktober, ketika tekanan Indonesia diintensifkan agar Kedutaan Besar Austria menyerahkan para peminta suaka kepada pihak kepolisian, Xanana Gusmco angkat bicara. Dalam sebuah pesan yang disampaikan kepada harian Australia "Sidney Morning Herald", Pemimpin Timor Leste ini menyatakan diri untuk bertanggungjawab secara moral terhadap pembentukan jaringan perakitan bom dan menjamin bahwa organisasi ini tidak bertujuan untuk menyerang sasaran sipil. Surat Xanana ini dialamatkan untuk melindungi para pemuda anggota PST yang terlibat dalam "Brigada Negra".
Semenjak itu, situasi di Kedutaan itu tidak mengalami perubahan. Yang berubah adalah tingkat penampakan kasus itu : pada saat di mana semua perhatian ditujukan pada pembebasan Pemimpin Perlawanan Xanana Gusmao, nasib keluarga Avelino mau tak mau harus menjadi sasaran sekunder.
Perjuangan melawan kelupaan itu dikendalikan oleh Perwakilan Luar Negeri PST sendiri - sebutan baru bagi AST, di Portugal yang mempertahankan kontak dengan Pemimpin Austria dan tetap melancarkan kampanye Internasional bagi pembebasan Avelino beserta keluarga dan dua kawannya. (terjemahan bebas dari Publico).
Nomor 49/III, 25 Oktober 1997
Brigade Hitam
TERORISME membayangi Indonesia. Sebuah "rahasia militer" baru saja diungkapkan Komandan Komando Resor Militer (Danrem) Wira Dharma, Timor Timur, Kolonel Slamat Sidabutar. Di Markas Korem Wira Darma, Sabtu dua pekan lalu, Slamat mengungkap tertangkapnya dua pemuda Timor Timur yang berusaha menyelundupkan 20 bom ke provinsi termuda di Indonesia itu.
Dari mulut dua pemuda yang tertangkap itu, petugas keamanan mengetahui bahwa di negeri ini telah lahir bentuk gerakan baru kelompok antiintegrasi Timor Timur. Atas bimbingan seorang bule warga negara Australia, mereka merakit bom di Demak, Jawa Tengah.
Mereka adalah anggota Brigade Negra (dalam bahasa setempat artinya Brigade Hitam) -sayap radikal gerakan antiintegrasi. Karena selama ini gerakan antiintegrasi selalu gagal, Brigade Hitam memilih jalan teror untuk melepaskan Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut petugas keamanan, mereka berencana mengebom pasar, terminal, dan instansi pemerintah di seantero negeri, terutama di Timor Timur.
Mengapa kelompok antiintegrasi kini mengibarkan bendera terorisme dan berapa luas jaringan mereka? Pertanyaan itulah yang akan dijawab dalam Laporan Utama Gatra kali ini. Bagian pertama menceritakan kisah penangkapan dua pemuda itu, yang berawal dari ledakan bom di Demak. Dari situ akan dilanjutkan dengan menyisir jaringan Brigade Hitam, baik di dalam maupun di luar negeri. Disinggung pula upaya pihak Indonesia untuk meminta Kedutaan Besar Austria menyerahkan para pendukung antiintegrasi yang berlindung di sana, padahal mereka dituduh terkait dengan aksi teror bom itu.
Bagian kedua, wawancara khusus dengan Panglima Kodam IX/Udayana, Mayor Jenderal Syahrir, selaku pimpinan militer yang bertanggung jawab atas keamanan wilayah Bali dan Nusa Tenggara, termasuk Timor Timur. Wawancara dengan Duta Besar Keliling RI, F.X. Lopes da Cruz, putra asli Timor Timur, melengkapi bagian ini.
Bagian ketiga menguraikan tahapan gerakan antiintegrasi, hingga akhirnya mereka menempuh jalan teror. Laporan Utama ini ditutup dengan kisah teror pengeboman yang pernah terjadi di Indonesia. Kolom Z.A. Maulani tentang terorisme dan artikel Fransisco Fernandes da Silva tentang masa depan Timor Timur diturunkan di lembaran lain untuk memperkuat Laporan Utama ini.
-------------------------------
Dua anggota kelompok antiintegrasi menyelundupkan 20 bom ke Timor Timur. Mereka tertangkap. Satu bom meledak di Demak, Jawa Tengah, maka jaringan teroris itu tersingkap. Seorang warga Australia diduga melatih mereka membuat bom. PIMPINAN militer dan kepolisian Timor Timur baru saja menyajikan konferensi. Isinya sungguh mengejutkan sejumlah wartawan yang hadir. Di Aula Markas Komando Resor Militer (Makorem) Dili, Sabtu dua pekan lalu, Komandan Korem (Danrem) 164/Wira Dharma, Kolonel Slamat Sidabutar, mengungkapkan "rahasia" yang sudah sekitar satu bulan ditutup rapat-rapat.
Pekan ini, rencananya, Markas Besar ABRI di Jakarta juga akan memberikan keterangan pers, yang isinya kira-kira melengkapi apa yang diungkapkan Danrem itu. "Sejak awal sebetulnya kami ingin mengungkapkannya kepada pers. Tapi karena kasus ini terkait dengan negara sahabat dan karena pertimbangan kepentingan pemeriksaan lanjutan, maka baru diungkapkan sekarang, apalagi beritanya sudah tersebar dari mulut ke mulut," kata Slamat Sidabutar, yang dalam konferensi pers itu didampingi Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Timor Timur, Kolonel Atok Rismanto, dan Komandan Pangkalan Angkatan Laut (Dan Lanal) Dili, Letnan Kolonel Herman S. Diman.
Isi keterangan itu memang mengagetkan. Menurut Danrem, pada 15 September lalu -sebulan sebelum konferensi pers- petugas keamanan Dili menangkap dua tersangka pembawa 20 bom rakitan yang diduga akan diledakkan di Timor Timur. "Daya ledak bom-bom itu cukup dahsyat. Dengan kandungan kimiawi yang dimiliki, bom itu mampu merobek baja setebal 10 milimeter.
Rakitannya terbilang sederhana, tapi mampu meledakkan sebuah gedung bertingkat," kata Danrem. Malah ada yang mengatakan, kekuatan bom itu mampu merobek tank. Dua tersangka pembawa bom itu bernama Constantio da Costa Santos, 21 tahun, dan Paulo George R. Pereira, 18 tahun. Keduanya, kata Slamat Sidabutar, adalah penduduk Dili yang merantau ke Jawa. Mereka kini mendekam di sel Polda Timor-Tmur, untuk diproses lebih lanjut.
Selain bom, dari kedua tersangka, petugas keamanan menyita 44 butir peluru M-16, 21 butir peluru Colt kaliber 38 spesial, 100 butir peluru FN-45, sebilah samurai, sebuah buku petunjuk untuk mengaktifkan bom, 1 rol timah solder, dan 20 jepitan kabel eksplosif. Ada lagi, 16 butir obat Kapsul, 1 baju bersimbol bendera Fretilin -kelompok anti integrasi Timor-Timur- 1 baju bergambar bendera Fretilin, 1 setel baju seragam loreng, 1 jam tangan, 4 radio mini merek Sony, dan 10 kaset.
Petugas keamanan menyita pula sejumlah buku, seperti manifesto politik, Perkumpulan Sosialis Timor Timur. Juga buku tentang Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela, karya Benson. Ada buku berjudul Children of The Resistance, karya Rebecca Winter dan Brian Kelly. Lalu buku Stallone Gate karya Martin Cruz Smith dan Biko, serta Cry Freedom karya Donald Word. Ada kaus bertuliskan Free East Timor yang di bagian depannya bergambar wajah Konis Santana, pimpinan kelompok anti-integrasi sektor tengah Timor Timur.
Dari hasil pemeriksaan awal, masih menurut Danrem, bom dan amunisi tersebut akan diserahkan kepada kelompok anti-integrasi Timor Timur di Dili, untuk mengacau provinsi termuda Indonesia itu. Gerombolan pengacau keamanan (GPK) -sebutan resmi kelompok anti-integrasi- berencana meledakkan bom itu di berbagai tempat di Dili, seperti pasar, terminal, instalasi PLN, Pertamina, dan kantor pemerintah, yang tentu saja akan meminta korban kalangan sipil. Pada 18 September lalu, misalnya, mereka berencana meledakkan gedung pertemuan Pemerintah Daerah Timor Timur yang berkapasitas 700 orang. Saat itu merupakan hari pelantikan Gubernur Abilio Soares, yang dihadiri Menteri Dalam Negeri Yogie S. Memet, Panglima Kodam IX/Udayana Mayor Jenderal Syahrir, Uskup Belo, dan para pejabat Timor Timur lainnya. Bisa dibayangkan apa yang terjadi bila rencana itu terlaksana. Namun pelantikan itu berjalan lancar, tak kurang suatu apa, karena bom yang akan diledakkan lebih dulu disita petugas keamanan. Masih dalam konferensi pers, Danrem menyingkap kasus suami-istri asal Timor Timur yang sejak 20 September meminta suaka di Kedutaan Besar (Kedubes) Austria di Jakarta. Keduanya, kata Danrem, adalah otak pembuatan bom itu. "Mereka merakitnya di Demak, Jawa Tengah. Mereka pula yang mengotaki penyelundupan 20 bom ke Dili, dan berencana mengacau Timor-Timur. Itu merupakan bukti bahwa mereka teroris," kata Slamat Sidabutar melanjutkan.
Diungkapkan pula keterlibatan seorang warga Australia yang melatih teroris itu -meminjam sebutan Danrem- dalam pembuatan bom tersebut. Danrem tak menjelaskan identitas orang itu.
Namun menurut sumber-sumber Gatra di Timor Timur, warga Australia itu bernama Geofrey. Kini ia entah berada di mana.Sedangkan nama dua warga Timor Timur yang bersembunyi di Kedubes Austria adalah Avelino Coelho Silva dan istrinya Sabina. Masih menurut sumber itu, Avelino berumur 35 tahun. Di Jakarta, lelaki berpendidikan setara diploma III itu tinggal di Perumahan Harapan Indah, Bekasi, Jawa Barat. Tapi ia sering ke rumah mertuanya di kawasan Jalan Pandanaran, Semarang. Sedangkan Sabina berusia 29 tahun. Ia berasal dari Kalimantan. Mereka telah dikaruniai dua anak, masing-masing berusia 5 tahun dan 6 tahun.
Hingga akhir pekan lalu, suami-istri dan kedua anak mereka itu masih berada di Kedubes Austria. Bahkan menurut seorang petugas Kedubes Austria, sebetulnya ada enam orang Timor Timur yang meminta suaka. Selain Avelino, Sabina, serta kedua anaknya, ada lagi dua lelaki berwajah Timor Timor.
"Dua pemuda itu masuk ke kedutaan menyusul suami-istri itu. Mereka memaksa ikut masuk. Karena sendirian, saya tak bisa mencegah mereka," kata petugas Kedubes Austria tentang Peristiwa 20 September itu. Menurut sumber Gatra, salah seorang pemuda itu bernama Nunu, berusia kira-kira 23 tahun. Ia hanya lulusan sebuah SMP di Dili. Pemuda satunya lagi tak jelas identitasnya. Tapi bagaimana kisah ini bisa terjadi? Mengapa pula Demak dan orang bule terbawa-bawa dalam cerita? Menurut sumber-sumber Gatra di Dili, rangkaian kisah itu memang bermula di Demak.
Sebuah gelegar dahsyat menjelang tengah malam -sekitar pukul 23.30- pada 13 September lalu membangunkan penghuni Perumahan Plamongan Indah yang terletak di Desa Batursari, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak -sekitar 25 kilometer dari Semarang.
Warga yang sudah tidur lelap berhamburan ke luar rumah. "Suara ledakan itu sangat keras. Getarannya membuat pintu rumah saya terbuka sendiri. Bahkan ada sejumlah rumah yang dindingnya retak," kata seorang wanita, penghuni kompleks perumahan itu.
Ledakan tersebut ternyata berasal dari rumah Nomor 11 Blok D-VIII, sebuah rumah tipe 45, yang di pintunya tertera tulisan vilagge flora. Menurut keterangan warga, penghuninya adalah tiga pemuda asal Timor Timur. Rumah itu sebenarnya milik Nyonya Fonny Wijaya yang dikontrakkan kepada Joao Carceres, 24 tahun, pemuda dari Kampung Benunuk, Desa Sabuli, Kecamatan Metirono, Dili. Selain Joao, menurut warga, rumah itu dihuni Laurido Albino da Costa dan Nunu. Warga tak tahu asal-usul mereka. Tapi Nunu diidentifikasikan sebagai salah seorang yang kini menjadi peminta suaka di Kedubes Austria.
Dari kamar belakang terlihat kepulan asap dan kobaran api. Joao Carceres, pemuda bertubuh ceking, berambut keriting, dan berkulit gelap, berjalan sempoyongan ke luar rumah. "Paha kanannya tampak terluka," kata seorang penduduk.
Segera saja penduduk mengerubungi Joao, mencari tahu apa yang terjadi. Dengan gugup Joao menceritakan bahwa tabung gas LPG (liquefied petroleum gas) kompornya meledak. Warga pun sibuk memadamkan api. Sementara itu, Joao meminjam telepon genggam milik Wawan Nurwana, ketua rukun warga (RW) setempat. "Ia bilang ingin menghubungi pamannya," kata Wawan.
Setelah menelepon, Joao pamit kepada sang ketua RW untuk pergi ke rumah "sang paman". Wawan menawarkan diri untuk mengantar, namun Joao menolak. Dengan terpincang-pincang, Joao bergegas menuju jalan raya yang jaraknya sekitar 1 kilometer untuk mencari taksi. Selagi Joao berlalu, warga berhasil memadamkan api. Mereka kemudian meneliti bagian dapur, mencari pecahan tabung gas yang menurut Joao meledak. Tenyata tak ada. Yang mereka temukan adalah lubang dinding berdiameter sekitar 30 sentimeter di kamar belakang. Agaknya ledakan itu benar-benar dahsyat. Pintu kamar berikut kusennya terlempar sejauh 2,5 meter, menghantam dinding di depannya. Seluruh eternit langit-langit kamar yang berukuran 2,5 x 2,5 meter hancur.
Genteng jenis beton pres di atas kamar juga berantakan. Semua benda di rumah itu rusak berat. Belasan botol bir berserakan di sekitar pusat ledakan. Kloset di kamar mandi -yang bersebelahan dengan kamar tempat terjadi ledakan- jebol. Entah bagaimana Joao bisa menyelamatkan diri. Kecurigaan merambat di hati penduduk. Bau aneh yang bukan bau gas LPG makin menambah kecurigaan mereka. Sarwono yang rumahnya persis di sebelah kediaman Joao menemukan belasan lembar kertas bergambar skema rangkaian pembuatan bom. "Dalam gambar disebutkan nama zat natrium sitrat dan potasium. Saya juga melihat potongan pipa aluminium berdiameter 3 sentimeter, panjangnya sekitar 20 sentimeter. Terlihat pula alat penumbuk, timbangan, jam, dan puluhan potongan kabel," tutur Sarwono.
Kebetulan istri Sarwono -yang ikut berkerumun- adalah seorang asisten apoteker lulusan sekolah menengah farmasi. Temuan zat kimia itu segera dikonsultasikan kepadanya. "Istri saya bilang, zat-zat itu merupakan bahan baku untuk membuat bom. Dengan demikian, saya yakin, ledakan itu adalah ledakan bom, bukan tabung gas LPG," kata Sarwono ketika dihubungi Gatra, sebulan setelah kejadian. Warga segera menghubungi polisi dan meminta satpam kompleks perumahan untuk menghentikan Joao. Namun Joao keburu naik taksi.
"Untunglah satpam sempat mencatat nomor polisi taksi itu," kata warga lainnya.
Dalam tempo tak begitu lama, polisi telah tiba di Plamongan Indah. Babak berikutnya adalah perburuan terhadap Joao. Ada dua petunjuk yang membantu polisi untuk mempermudah perburuan itu. Pertama, nomor taksi sudah dicatat satpam. Kedua, nomor telepon yang dihubungi Joao masih tercatat dalam memori telepon genggam milik Wawan Nurwana. Setelah dilacak, ternyata nomor itu berada di sebuah rumah di Jalan Mahesa Timur II/483, Perumahan Kekancan Mukti, Semarang.
Malam itu juga polisi meluncur ke Semarang, mengepung rumah di Jalan Mahesa Timur, tempat yang diduga menjadi markas kawanan Joao. Namun menurut cerita Suyoto, ketua rukun tetangga setempat, malam itu polisi hanya menemukan rumah kosong, penghuninya tak ada. Baru Minggu pagi, sekitar pukul 07.00, salah seorang penghuninya -seorang pemuda- datang. Petugas keamanan yang sudah mengintai segera menangkapnya. Polisi kemudian menggeledah rumah itu. Menurut sumber Gatra, polisi menemukan serbuk amunisi sebanyak 1 kilogram dan 5 liter zat kimia cair dalam sebuah jeriken. Hal itu dibenarkan Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) Polda Jawa Tengah, Letnan Kolonel Bardja.
Dari pemuda tersebut polisi berhasil mengorek informasi tentang tiga pemuda lainnya yang selama ini tinggal di rumah itu, serta adanya dua pemuda Timor Timur yang akan menyelundupkan 20 bom ke Timor Timur. Polisi segera bergerak, memburu mereka. Malam itu juga di sebuah tempat di Semarang, tiga pemuda ditangkap. Sampai akhir pekan lalu, mereka masih meringkuk di sel tahanan Polda Jawa Tengah. "Mereka ditahan sebagai tersangka dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Bahan Peledak," kata Kadispen Polda Jawa Tengah.
Bardja tak bersedia menjelaskan identitas empat pemuda tersebut. Namun Ikatan Pelajar Timor Timur (Imapti) Semarang memiliki datanya. Menurut Horacio de Almaida, Ketua Impetu, empat pemuda yang ditahan itu adalah Ivo Savador Miranda, 20 tahun, Dominggus Natalino Coilo da Silva, 18 tahun, Fernao Fedro Malta Carreia, 19 tahun, dan Joaquin Santana, 23 tahun. Ivo Savador adalah mahasiswa tingkat pertama sebuah akademi bahasa asing di Semarang. Dominggus tercatat sebagai peserta kursus bahasa Inggris di Semarang.
"Sedangkan Fernao Fedro dan Joaquin tak kuliah dan tak sekolah di sini. Saya tak tahu apa pekerjaan mereka dan kapan mereka datang ke Semarang," kata Horacio. Tapi Horacio pun tak percaya, keempat pemuda itu mampu merakit bom. "Merakit bom itu sulit, membutuhkan pengetahuan khusus," ujarnya.
Pendapat Horacio soal lain. Sebagaimana dikatakan Kadispen Polda Jawa Tengah, untuk mengetahui apakah mereka bersalah atau tidak, pengadilan yang memprosesnya. Tapi yang jelas, dari pemeriksaan terhadap keempat pemuda itu polisi mengetahui ada 20 bom hasil rakitan mereka yang sempat dibawa ke Timor-Timur oleh Constantio da Costa Santos, mahasiswa Universitas Diponegoro, Semarang, dan Paulo George R. Pereira, pekerja swasta. Maka polisi Demak segera mengontak petugas antiteror di Dili. Kepolisian Dili pun segera siaga penuh untuk menyergap mereka.
Rupanya pada 11 September -dua hari sebelum ledakan di Demak-kedua pemuda Timor Timur itu bertolak ke Dili, menumpang Kapal Motor Tatamailau. Mereka lebih dulu singgah di Nusa Tenggara Barat dan Kupang. Kapal itu tiba di Dili, 15 September. Tampaknya mereka belum mengetahui terjadinya ledakan bom rakitan mereka di Demak itu.
Sebelum Tatamailau merapat, pukul 06.30 waktu setempat, 15 September, dua petugas antiteror ABRI melesat ke dermaga, dan langsung meloncat ke atas kapal. Pandangan mereka menyapu siapa saja, mencari lelaki berkulit gelap, tinggi 170 sentimeter, mengenakan sepatu warna gelap, dan memakai tas pungung. Itulah ciri-ciri pembawa bom yang digambarkan polisi Jawa Tengah. Akhirnya orang yang dicari terlihat. Ketika Constantio dan Paulo turun dari kapal, petugas di atas kapal mengerdipkan mata ke arah petugas di dermaga. Ekor mata mereka mengarah ke dua pemuda itu. Segera saja petugas yang sudah bersiap di dermaga mengepung Constantio dan Paulo. Mereka segera digiring ke ruang tunggu untuk digeledah. Para petugas terkejut ketika menemukan boneka merah muda dari tas Constantio. Di dalam setiap boneka itu ternyata ditemukan bom.
Selagi interogasi berlangsung, petugas keamanan mencurigai seorang pemuda yang menunggu di dermaga, yang kemudian diketahui bernama Jose Ximenes. Usianya kira-kira 27 tahun. Lekaki itu pun segera ditangkap. Tatkala diinterogasi, Jose mengaku datang ke pelabuhan untuk menjemput Constantio dan Paulo. Kini ketiga tersangka meringkuk di sel kepolisian Dili.
Sumber Gatra di Kepolisian Resor Dili menceritakan bahwa Constancio terlihat tak gentar ketika diinterogasi. Ia tak ragu-ragu mengatakan bahwa bahan peledak itu akan digunakan untuk merebut kemerdekaan Timor Timur. Dalam pemeriksaan, mereka menyebut nama Mr. Geofrey, pria berkebangsaan Australia, yang pada 6 Maret-6 April lalu memberikan pelatihan pembuatan bom bagi Constantio da Costa Santos, Joao Bosco Carceres, Laurindo Albina Lourdez Nunu Pereira di Semarang oleh Geofrey, kata mereka, dikirim Ramos Horta, tokoh anti-integrasi yang bermukim di luar negeri. Bahkan Constantio dan Paulo mengaku, pada 19 Juli mereka bersama Geofrey pergi ke Portugal, menemui Ramos Horta. Pada 9 Agustus mereka kembali ke Indonesia, menuju Semarang, untuk menyusun rencana berikutnya. Hubungan kelompok antiintegrasi dengan orang asing bukanlah hal baru. Menurut sebuah sumber, sebelum David Alex tewas, ia mempunyai jalinan dengan dua lelaki bule bernama Christhoper Michael Alexander, warga negara Inggris, yang mendarat di Timor Timor, 4 Januari lalu, dan John Raymonds Marthins, asal Australia, yang tiba di Dili, 5 Januari. Keduanya sempat menemui David Alex di suatu tempat di Timor Timur. David Alex atau David Freitas adalah salah seorang pimpinan kelompok antiintegrasi yang tewas tertembak oleh tentara Indonesia, 25 Juni lalu.
Masih menurut pengakuan Constantio dan Paulo kepada polisi, mereka pernah pergi ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta, menemui Xanana Gusmao, tokoh antiintegrasi yang sedang menjalani hukuman. Dari Xanana, mereka mengaku menerima uang Rp 250.000 untuk teruskan kepada komandan kelompok antiintegrasi di hutan Timor Timur. Seorang petugas LP Cipinang membenarkan bahwa memang pernah ada orang yang menemui Xanana. Sumber lain menyebutkan, keempat pemuda itu menerima uang masing-masing Rp 250.000 dari Xanana.
Kepada sebuah media massa di luar negeri, Xanana mengaku bertanggung jawab atas rencana penyelundupan bom itu. Pihak keamanan tak percaya begitu saja. Keterlibatan Xanana masih dalam pengusutan. Namun sebuah sumber menyebutkan, Xanana adalah Panglima Tertinggi Falintil. Organisasi ini merupakan sayap militer Conselho Nacional da Resistencia Maubere (CNRM) induk organisasi gerakan Timor Leste (Timor Merdeka)- yang dipimpin Ramos Horta. Di bawah Falintil ada yang disebut Biro Khusus Associacao Socialista de Timor (AST). Avelino Coelho, yang meminta suaka di Kedubes Austria, adalah Sekretaris Jenderal AST dan terlibat dalam pelatihan pembuatan bom di Demak itu. Di bawah AST masih ada Brigade Negra, sayap "radikal" (teroris) gerakan ini, yang bertugas melancarkan aksi teror di seluruh wilayah Indonesia. Dalam bahasa setempat, Brigade Negra berarti Brigade Hitam.
Berdasarkan barang bukti -bom dan sejumlah dokumen yang ditemukan- serta pengakuan para tersangka, pimpinan ABRI menyebut gerakan antiintegrasi itu telah menjurus ke terorisme. "Dulu mereka menyerang ABRI, sekarang rakyat jadi sasarannya. Apa namanya kalau bukan terorisme," kata Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) ABRI, Brigadir Jenderal Abdul Wahab Mokodongan, kepada A. Latief Siregar dari Gatra.
Para tokoh Timor Timur pun bilang begitu. "Tindakan GPK sudah keterlaluan. Mereka membunuh rakyat sipil, bukan cuma enyerang militer. Pada 2 Oktober lalu, misalnya, mereka membunuh seorang guru dan melukai seorang guru lainnya di Kabupaten Baucau. Mereka betul-betul menciptakan ketakutan. Itu jelas terorisme," kata Clementino dos Reis Amaral, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia asal Timor Timur.
Aksi teror itu, menurut para pimpinan militer dan tokoh Timor-Timur, menunjukkan bahwa kelompok antiintegrasi telah frustrasi. Gerakan mereka untuk memisahkan Timor Timur dari Indonesia, baik melalui jalur diplomasi maupun kekerasan bersenjata, telah gagal. Sementara itu, pendukung mereka di Timor Timur makin kecil. "Mereka mengambil lokasi perakitan bom di Demak adalah indikasi bahwa mereka makin ditolak di Timor Timur," kata Kapuspen ABRI.
Pihak Indonesia menggolongkan para pembuat bom itu sebagai teroris, tapi kacamata Ramos Horta dan kawan-kawannya lain lagi. "Para pencari suaka di Kedubes Austria dan pembuat bom itu bukanlah teroris, seperti dituduhkan pihak militer Indonesia," kata Ramos Horta dalam siaran persnya yang dibuat Natacha Meden, juru bicara Ramos Horta di Lisabon, Portugal, pekan lalu. Menurut siaran pers yang dikeluarkan Meden, bom itu tidak untuk mencederai penduduk sipil, melainkan untuk menyerang militer. Siaran pers ini ingin menafikan hasil pemeriksaan polisi kepada para tersangka yang menyebutkan, 20 bom itu akan digunakan untuk meledakkan ruang pertemuan kantor gubernur serta instalasi sipil lainnya.
Pada 8 Oktober lalu, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat mengeluarkan daftar 30 organisasi teroris dunia. Antara lain Harakat al-Muqawama al-Islamiyah (Hamas), Party of God atau Islamic Jihad for Liberation of Palestine, dan Al-Harakat al-Islamiyah pimpinan Abu Sayyaf. Pokoknya, sebagian besar organisasi teroris itu dari Timur Tengah. Mereka digolongkan sebagai teroris karena gerakannya dinilai menelan korban masyarakat sipil. Namun CRNM atau Brigade Negra (Brigade Hitam) tak masuk daftar itu. Profesor Michael Salla dari American University, yang mengaku sebagai pengamat Timor Timur, mengatakan bahwa para pembuat bom itu adalah gerilyawan yang memperjuangkan kemerdekaan negeri mereka.
"Kita jangan mencap mereka teroris," kata Salla kepada Abdul Hamid Awaludin, koresponden Gatra di Washington, D.C. Namun Salla tak bersedia mengomentari mengapa Hamas yang juga memperjuangkan emerdekaan negeri mereka dari zionis Israel dikategorikan sebagai teroris. Wajar saja sering terdengar tuduhan, pihak Barat bersikap mendua dalam memandang gerakan di luar negeri: sebuah gerakan dianggap sebagai teroris bila merugikan Barat. Kedubes Austria di Jakarta juga tak mau menyebut orang-orang yang meminta suaka di sana sebagai teroris.
"Soal itu bukan saya yang bisa menjawab. Ini Pemerintah Austria yang akan menjawabnya nanti. Saya tak bisa berkomentar mewakili mereka. Itu bukan hak saya. Mereka kami terima di sini karena meminta bantuan untuk pergi ke Portugal," kata Eleonora Windis, Wakil Duta Besar Austria, kepada Krisnadi Yuliawan dari Gatra.
Sejauh ini Windis juga belum bisa menanggapi permintaan pihak Indonesia untuk menyerahkan para peminta suaka -yang dicari polisi karena terlibat dalam pembuatan bom itu- kepada Indonesia. Bahkan ia membantah telah dihubungi Pemerintah Indonesia. Padahal, menurut Kapuspen ABRI, lewat koordinasi dengan Departemen Luar Negeri RI, ABRI telah melakukan "pendekatan" kepada Duta Besar Austria, meminta agar para tersangka pembuat bom itu diserahkan kepada Indonesia untuk diproses secara hukum. "Kita mengenal Austria adalah negara yang cinta damai dan antiterorisme. Nah, apakah Austria mau menyerahkan mereka," kata Kapuspen ABRI. Sementara itu, Kepala Penerangan Departemen Luar Negeri, Gafar Fadyl, berharap Kedubes Austria memahami permintaan petugas keamanan Indonesia itu. Soalnya, terorisme adalah musuh semua masyarakat dunia.
Priyono B. Sumbogo, Heddy Lugito, dan J. Bosko Blikololong