Isu komunisme yang dikembangkan para intelegen saat itu memaksa institusi gereja melihat FRETILIN sebagai kekuatan yang sangat mengancam posisi gereja di Timor-Leste yang sangat konservatif dan para pastor ikut mendukung kelompok anti komunisme UDT saat itu di Timor-Leste sekitar tahun 70-an. Dengan dukungan demikian memberikan peluang bagi Regim Militer yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto untuk melakukan Invasi Militer dengan dukungan USA, Australia, Inggris dan beberapa Negara Eropa.
HUT 12 November 1994, aksi suaka politik dan solidaritas dari PRD
Dua puluh hari menjelang KTT NON-BLOK di Jakarta, bertepatan dengan 3 tahun penyerangan terhadap gereja Motael. Tempat di mana kami tinggal/bersembunyi di Jln Bangka Jakarta selatan disergap oleh para Intel BAIS dan ABRI, namun waktu itu saya bersama kawan Nelson Baptista Mandela dan Joao Bosco Carceres yang berada di rumah. Kawan Laurindo Lourdez sedang dalam tugas pergi ke Bali. Karena rencana aksi para mahasiswa yang diorganisir oleh kawan-kawan RENETIL waktu itu telah tercium oleh para Intelegen ABRI. Dan tempat tinggal kami pun diawasi ketat.
Kedatangan mereka para anggota intelegen ABRI ke rumah dimana kami berada, mereka (BAIS) hanya mengecek berapa orang yang tinggal dirumah tersebut, dan apakah ada hubungan dengan perencanaan aksi demostrasi yang akan diadakan di Jakarta oleh para mahasiswa Timor Leste menjelang KTT Non Blok yang akan berlangsung di Jakarta, bertepatan dengan ulang tahun pembantaian Santa Cruz yang ketiga.
Almarhum HJ. Princen
Keesokan harinya saya langsung pergi mencari perlindungan dari para pembela hak asasi manusia di Jakarta. Waktu itu saya bertemu dengan Almarhum Hj. Princen. Dirumah pak hj Princen saya bertemu dengan kawan Daniel Indrakussuma alias ROY, aktivis dari PRD pro demokrasi Indonesia di Jakarta. Dari pertemuan tersebut saya mulai berhubungan dengan kawan-kawan pro-demokrasi Indonesia. Melalui kawan ROY saya dikenalkan dengan kawan-kawan aktifis mahasiswa dan Buruh seperti Wilson, Anon Astika, Petrus, Shanti Andi Arief dari SMID(Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi), Dita Sari dari PPBI(Pusat Perjuangan Buruh Indonesia) dan STN(Serikat Tani Nasional) dan Ketua PRD(Partai Rakyat Demokrat) saat itu Budiman Sudjatmiko serta beberapa kawan-kawan yang lain.
Namun tempat kami terus diawasi ketika para Intel/BAIS dan Polisi tersebut datang, para tetangga kami yang selama itu sangat baik dengan kami karena kelakuan kami selama tinggal bersama dengan mereka di daerah itu selalu membela kami. Para Intel/BAIS dan Polisi tersebut datang dengan alasan hanya mengecek. Namun mereka kembali datang pada keesokan harinya pada pukul 07.00. pagi, bertemu saya yang waktu sedang bersiap-siap pergi keluar namun saya diajak bercakap oleh para Intel/BAIS tersebut dan bertanya pada saya;
“Mau kemana dik?
Saya menjawab dengan santai; saya mau ke kampus pak!!
Intel tersebut bertanya kepada saya, Kuliah dimana?
Guna Dharma pak!!
Ambil jurusan apa dik? Informatika Pak!!
Semua pertanyaan yang diajukan saya menjawab dengan berperilaku sebagai mahasiswa yang sedang sibuk dengan kegiatan kampus sehari-hari. Setelah hampir 30 menit berbincang-bincang dengan para intel tersebut saya minta pamit untuk pergi ke kampus. Dan sekembalinya pada sore hari saya masih melihat beberapa intel yang sedang duduk di Warung para penjual Bakso dan Bubur kacang ijo untuk terus mengawasi gerak gerik kami. Karena waktu telah tersebar isu-isu bahwa akan ada demonstrasi oleh mahasiswa Timor-Leste dalam rangka memperingati ulang tahun pembantaian masal di Dili/Masacre Santa Cruz 12/11/91 yang ke tiga dan bertepatan dengan KTT NON-BLOK di Jakarta.
Setelah beberapa hari rumah/tempat kami diawasi selama satu minggu sampai pada dini hari tangal 12/11/94 para Intel tersebut mengetuk pintu kami dan bertanya;
“kalian Tahu bahwa hari ini apa, Kalian tidak ada aktivitas?
Saya bersama kawan mengajak para Intel tersebut untuk masuk ke rumah dan duduk sambil menikmati kopi pagi dengan sebatang rokok dan berbincang-bincang dengan mereka sampai setelah mereka mendengar panggilan dari radio bahwa ada sekelompok mahasiswa sedang menuju ke kedutaan besar Amerika Serikat untuk berdemonstrasi dan mereka pun lekas-lekas pergi meninggalkan kami.
Setelah beberapa menit mereka pergi, datanglah sekelompok kawan-kawan mahasiswa dari Malang sekitar 15 orang yang gagal melompati pagar kedutaan besar AS untuk meminta suaka politik, mendatangi tempat dimana kami tinggal, di daerah Jakarta selatang di jalan Bangka. Kebetulan ketika itu saya bersama Nelson Baptista Mandela baru mau pergi ke Depok, dengan kedatangan mereka saya langsung berhubungan dengan kawan Daniel Indrakussuma alias ROY untuk meminta bantuan solidaritas kawan-kawan PRD untuk memberikan tempat bagi mereka untuk bersembunyi beberapa hari. Akhirnya permintaan saya direspon dengan baik oleh kawan Daniel/Roy dan saya mengantarkan kawan-kawan mahasiswa tersebut menuju pusat kawan-kawan SMID,PPBI, STN (PRD). Disana kami bertemu Kawan Wilson, Dita sari, Petrus, Santi dan kawan Budiman Sudjatmiko yang waktu itu adalah Ketua PRD.
Dengan pertemuan tersebut kawan-kawan pro demokrasi Indonesia yang tergabung dalam SMID, PPBI, STN yang bernaungan dibawa bandera PRD dan perwakilan RENITIL diwakili oleh Virgilio Guteres dan Saya mewakili mate restu 12 novembro yang kami singkat dengan nama Grupo ONZEDOZE dan AST(Associasao Socialista de Timor), kami membentuk satu organisasi bersama yaitu SPRIM (Solidaritas Perjuangan Rakyat Indonesia untuk Maubere). Dari pembentukan organisasi tersebut segala aksi dan salah satu dari program politik PRD adalah referendum untuk rakyat maubere dan demokrasi untuk rakyat Indonesia. Membangun hubungan baik dengan kaum demokrat Indonesia semakin meluas dari kalangan pro demokrasi kalangan elit sampai dengan kalangan pro- demokrasi garis bawah dari Buruh, Tani, mahasiswa.
Setelah menjalin hubungan dengan PRD kerjasama antara PRD dengan AST dan meluas sampai dengan CNRM/CNRT dan kegiatan politik dalam perjuangan kemerdekaan semakin padat. Karena kesibukan dengan segala kekurangan yang ada pada suatu ketika hari selasa saya bersama beberapa kawan pergi ke PERWAKILAN TIMOR-TIMUR di Jatinegara ketika sedang duduk bersama teman-teman saya jatuh pingsang dan dibawah kerumah karena kekurangan stamina karena kadang –kadang kami hanya makan sekali atau tidak sama-sekali. Kejadian tersebut merupakan suatu kejadian yang tidak pernah saya lupakan seumur hidup saya.
Hubungan AST-PRD dan PRD-CNRM semakin erat ketika itu datang kedua teman yang aktif dalam kegiatan gerakan klandistin di Timor-Timur melarikan diri ke Jakarta karena dikejar oleh intelegen di Dili, mereka adalah Putu(Naldo Reis dan Alfredo). Ketika itu saya bersama Siku Dias diperintahkan oleh mana mutin(Kristy Swoard) untuk mencari tempat buat mereka dapat bersembunyi, saya mengontak kawan Roy(Daniel Indrakussuma) untuk meminta mereka menerima kedua kawan tersebut di rumah mereka di daerah depok. Kami mengantarkan Putu dan Alfredo ke sana.
Setelah itu kami diundang untuk menghadiri Kongres Partai Rakyat Sosialis (PRS) di Jawa. Partai Rakyat Sosialis (PRS) adalah partai yang mengorganisir diri secara klandistin di Indonesia. Ketika itu CNRM dan AST diundang untuk menghadiri kongres PRS di Jawa-Indonesia ketiga delegasi itu terdiri dari Antonio Maher Lopez(FATUK MUTIN), Aquita dari AST dan Virgilio Guteres(Babe)mewakili CNRM-RENETIL saat itu. Perjalanan menuju ke Jawa yang diorganisir oleh kawan-kawan stafet PRD kami dijemput dan diantar, ketika turun dari kereta api lalu kami harus naik mobil sesampainya disebuah desa kami harus ganti mobil sampai tiba dilokasi kongres PRS. Perjalanan tersebut mengingatkan kita akan situasi yang sesungguhnya yang kita alami di Timor-Timur saat itu karena dalam perjalanan ketika memasuki wilayah jawa tersebut kami melihat para tentara nasional Indonesia sedang berpatroli dengan siap siaga untuk bertempur. Setelah mengahdiri kongres tersebut kami kembali ke Jakarta untuk mempersiapkan aksi bersama dengan kawan-kawan PRD di berbagai kedutaan asing di Jakarta.
Memo UNIDADE NASIONAL dari Kay Rala Xanana Gusmao
Memasuki akhir tahun 1994 AST menerima sebuah surat dari Pemimpin Nasional Perlawanan Mau Bere/Panglima Tertinggi FALINTIL ketua CNRM Kay Rala Xanana Gusmao yang menyatakan bahwa tahun 1995 adalah merupakan tahun Persatuan Nasional menuju segala aksi.
Karena pertentangan dan perbedaan yang terjadi antara Avelino Coelho dan Antonio Maher Lopez (Fatuk Mutin) dengan Pemimpin CNRT saat itu, dengan mendukung Kay Rala Xanana Gusmao dari organisasi non partai RENETIL.
Setelah hubungan itu kembali membaik pada tahun 1995, surat menyurat antara Kay Rala Xanana Gusmao dengan Avelino Coelho dengan mulai lancar. Suatu ketika pada hari rabu saya bersama seorang teman pergi ke cipinang untuk membesuk para tahanan politik sekembalinya kami dari cipinang kami mampir ke perwakilan Provinsi Timor-Timur di kampung Jatinegara, waktu itu kami tidak sarapan pagi ketika kami sedang nongkrong di depan perwakilan provinsi Timor-Timur tersebut. Ketika itu saya jatuh pingsang karena lapar, memang kondisi kami saat itu sangat prihatin secara financial. Saya tidak sadar ketika jatuh pingsang setelah saya sadar saya bertanya kepada teman-teman dirumah saya dimana sekarang? Mereka menjawab kamu telah berada dirumah.
Satu minggu kemudian kami didatangi 4(empat) teman dari Dili yaitu Baptista Mistisu, Joaquim Alim(Quim), Nelson Turquel dan David Seixas (Aya). Waktu itu mereka mencari seorang teman yang bernama “Akita”, dan keempat teman itu kami tampung ditempat dimana kami tinggal, Jalan Kramat Sention Jakarta Pusat. Setelah seminggu tinggal bersama ditempat kami, mereka tidak pernah bertemu saya karena saya selalu keluar pagi dan kembali tengah malam. Waktu itu saya pergi ke markas PRD di kedondong Jakarta selatan. Suatu hari saya tidak ada kegiatan dan pagi hari itu saya sedang duduk di teras depan dan menikmati kopi panas, kemudian keempat itu bergabung dengan saya dan berbincang-bincang sambil menikmati kopi panas. Waktu itu Baptista Mistisu bertanya kepada saya;
Kami ingin bertemu dengan “Akita”.!
Waktu itu saya agak terkejut.
Lalu saya bertanya kepada Baptista dan ketiga temannya.
Ada apa?
Tapi waktu itu diantara ketiga teman Baptista adalah teman masa kecil saya. Yaitu; Aya. Aya dan saya tinggal satu desa di Santa Cruz. Kami berpisah setelah pembantain 12 November 1991. Ketika Aya mendengar Baptista bertanya nama saya kepada saya. Aya melihat kepada saya lalu saya memberikan signal kepada Aya untuk diam dan Aya pun diam dan tidak menjawab atau mengeluarkan sepatah kata pun tentang saya atau memberitahukan Baptista tentang saya. Ketika itu selain duduk bersamaan dengan mereka, teman Egas China juga duduk bersama kami dan menjawab pertanyaan Baptista;
Orang yang kalian cari sedang duduk bersama kalian, “ini orang yang namanya “Akita”.
Dari perbincangan kami, mereka(Baptista cs) mengutarakan keinginan mereka untuk mencari suaka politik. Lalu saya mengorganisir pertemuan mereka dengan Maun Martinho Pereira, Maun Virgilio Guterres, Maun Toi Lopez dan Shalar Kossi. Pertemuan itu berlangsung di tempat dimana kami tinggal. Dan pertemuan mereka dengan para keempat maun bo’ot tersebut terealisasi. Para maun bo’ot tersebut mempersiapkan segala dokumen yang berhubungan dengan tuntutan untuk meminta suaka politik. Kepada keempat teman tersebut para maun tersebut meminta untuk bersabar agar para maun tersebut mengorganisir secara rapi. Sambil menunggu salah seorang teman mereka berangkat ke Bali dan melanjutkan perjalanannya ke Macau. Namun ketika itu Egas China dan Timotio Lospalos bergabung dengan mereka bertiga untuk bersiap-siap menuju ke kedutaan besar Inggris dan akhirnya mereka berhasil menerobos pintu kedutaan besar Inggris untuk meminta suaka politik yang ketiga kalinya. Setelah kelima pemuda tersebut, berikutnya suaka politik menjadi aksi yang sangat populer saat itu. Semua pemuda yang berkeinginan keluar dari Timor Leste memilih jalan pintas yaitu: suaka politik.
Setelah waktu itu saya ditugaskan untuk kembali ke Dili melalui Bali untuk mengurus passport Indonesia oleh Shalar Kossi yang waktu itu telah menjabat sebagai Penasehat Politik Militer Comandante em Chefe das FALINTIL. Ketika saya sampai di Bali, saya melihat berita tentang lima pemuda meminta Suaka Politik di kedutaan Besar INGGRIS.
Surat itu merubah dan mengakhiri semua kampanye RENETIL terhadap AST waktu itu. Namun karena ketika itu FECLITIL berubah menjadi AST, kami mulai mengorganisir beberapa teman teman itu dengan baik dan Shalar Kossi sendiri yang mengatur segala statement mereka untuk meminta suaka di kedutaan besar Inggris waktu itu. Dari pernyataan/statement yang ditulis oleh Shalar Kossi itulah MENLU RI saat itu ALI ALATAS memberikan gelar DR kepada Avelino Coelho dengan memanggil Avelino Coelho, DR. Shalar Kossi.
Namun kampanye terhadap AST oleh beberapa pemimpin RENETIL seperti Lucas da Costa dan beberapa member RENETIL masih terus berlanjut, bahwa AST menentang Kay Rala Xanana Gusmao dan CNRM. Dan Avelino Da Silva Coelho(Shalar Kosi) adalah orang komunis serta berbagai macam tuduhan seperti kaki tangan Sico Lopez da Cruz.(Dubes Keliling RI). Walaupun dijakarta kami telah menjalin hubungan yang sangat baik dengan Virgilio Guteres namun Segala tulisan AST seperti O EMBRIO DA LIBERTACAO dan Majalah FUNU tidak sampai ke tangan Kay Rala Xanana Gusmao di penjara Cipinang. Selain tingginya tembok Cipinang dan keadaan Kay Rala Xanana Gusmao yang terisolasi, Fernando LASAMA Araujo juga ikut memblokir segala sesuatu yang berhubungan dengan AST kepada Kay Rala Xanana Gusmao.
Namun, situasi diluar penjara cipinang AST dan Virgilio Guteres dan Joao Travolta di Jakarta bersama Kepemimpinan AST dan PRD memiliki hubungan yang baik. berkat hubungan baik tersebut berhasil mengkordinir sebuah aksi bersama di kedutaan besar Rusia dan Jepang.
Pembentukan BRIGADA NEGRA menuju aksi militer di kota
Namun, waktu itu dipenjara Cipinang selain Fernando Lasama Araujo, ada beberapa tahanan politik Timor Leste memiliki pemikiran yang luas seperti Tiu Marito Reis dan Tiu Albino. Keduanya adalah para generasi tua yang memiliki pengalaman dalam melihat pertentangan tersebut dan memiliki sikap yang terbuka dalam menanggapi semua tindakan para pemimpin RENETIL tersebut. Berkat pendekatan dan melalui kedua generasi tua (Tiu Marito Reis dan Tiu Albino Da Costa) tersebut, Avelino Coelho alias Shalar Kossi dan AST membuka kembali hubungan antara Kay Rala Xanana Gusmao dan AST. Yang artinya AST yang selama itu dikampanyekan oleh RENETIL sebagai perkumpulan orang – orang yang anti Xanana Gusmao dan tidak termasuk anggota CNRM itu hanyalah isu belaka.
Setelah Shalar Kossi bertemu dengan Kay Rala Xanana Gusmao dan segala sesuatu tentang program-program dalam menjalankan tugas perjuangan berhubungan langsung dengan mana Mana Mutin(Kristy Swoard). Dengan demikian segala sesuatu yang berhubungan surat menyurat kami langsung berhubungan dengan mana Kristy Swoard(mana mutin) dengan berhubungan langsung dengan mana mutin Shalar Kossi. Waktu itu Shalar Kossi berhasil membuka sebuah jaringan dimana kami mendapatkan telepon gengam-HP dan memasukan ke penjara Cipinang, agar Panglima Tertingi itu dapat memerintah langsung dari Cipinang dan waktu itu hubungan Shalar kossi dan Comandante em Chefe das FALINTIL langsung melalui hp. Dengan membuka komunikasi langsung antara Kay Rala Xanana Gusmao dengan mengunakan handphone pemimpin tertinggi perlawanan rakyat Maubere CNRM dapat berhubungan langsung melalui handphone dengan perwakilan CNRM Jose Manuel Ramos Horta di luar negeri, dan dapat memberikan perintah langsung dari penjara Cipinang.
Selain ikut mengorganisir suaka politik, kami para anggota AST bersama Sekjen AST Avelino Coelho(Shalar Kossi) mulai berkonsentrasi dengan program – program dan kegiatan-kegiatan menuju aksi militer untuk membantu kekuatan militer FALINTIL agar mendesak Pemerintahan Jakarta dapat berdialog dengan Kay Rala Xanana Gusmao menuju penyelesaian perang di Timor-Leste. Namun waktu itu Shalar Kossi dalam pengejaran Intelegen Indonesia BAIS atau BIA kami tinggal berpindah tempat. Dari Jakarta kami menuju Semarang di semarang kami mulai berkonsentrasi dengan program-program militer dan terus menulis menerbitkan majalah FUNU.
Program yang diajukan oleh Shalar Kossi FF kepada comandante em Chefe das FALINTIL Kay Rala Xanana Gusmao, saat itu adalah membentuk sebuah pasukan khusus FALINTIL langsung dibawa kendali Kay Rala Xanana Gusmao melalui Biro Khusus AST. Dari Program tersebut, Avelino Coelho yang saat itu diangkat oleh Kay Rala Xanana Gusmao sebagai penasehat politik militer FALINTIL mengajukan Job deskription dan nama dari Pasukan Khusus FALINTIL tersebut Brigada Negra-BN.
Pembentukkan BN bertujuan untuk men-Timorisasi perang Timor-leste di Indonesia. Tugas BN adalah untuk melakukan gerilya urbana di Dili dan seluruh kota di Jawa dan Indonesia. Tujuan dari pada gerilya urbana tersebut adalah untuk menunjukan ke dunia luar Internasional bahwa existensi FALINTIL bukan saja dihutan akan tapi di Dili dan diseluruh kota Indonesia. Selain itu memaksa pemerintah Jakarta berdialog dengan Kay Rala Xanana Gusmao melalui penghancuran terhadap tempat-tempat vital perekonomian Indonesia tanpa pertumpahan darah.
Bersama Kristy Swoard di Dili
Memasuki akhir tahun 1995 tepatnya bulan Oktober, saya kembali ke Dili guna mengatur kedatangan Mana Kristy Swoard (Istri Xanana Gusmao Sekarang) ke Dili pada bulan October 1995. Ketika saya tiba di Dili saya langsung menuju ke penginapan Vila Harmonia di Becora dan bertemu dengan pemilik penginapan Vila Harmonia Pedro Lebre untuk melihat situasi disekitar becora dan menyampaikan pesan kepada Pedro Lebre bahwa “mana mutin” akan tiba di Dili dan menginap di Vila Harmonia. Setelah berbicara dengan Pedro Lebre saya meminta bantuan seorang teman bernama Edy moko (Leusari) untuk menggunakan mobil kijang untuk mengangkut Mana Kristy di Dili dan mengunakan Bus Leusari bepergian ke Lospalos. Sebelum kedatangan Mana Mutin dua hari saya harus bolak balik Dili-Perbatasan Batugede untuk memonitor situasi Dili-Batugede dan Batugede-Dili.
Di Dili saya menerima sebuah pesan dari Shalar Kossi bahwa Maun Bo’ot Xanana meminta saya untuk berhati-hati dan jangan sampai terjadi sesuatu kepada “mana”.
Ketika “Mana Mutin” bepergian ke Lospalos saya tetap berada di Dili, kepergian “Mana Mutin” ke Lospalos saya menyuruh seorang teman bernama Meucau untuk mendampingi “Mana Mutin” dengan Bus yang ditumpangi Mana Mutin. Saya berada di Dili dan bertemu dengan Adjunto Solep ketika “Mana Mutin” kembali ke Dili saya bersama Edy Moko menjemput Mana Mutin bersama di Vila Harmonia Untuk bertemu dengan Adjunto Solep. Setelah kunjungan “Mana Mutin (Kristy Swoard)” saya kembali ke Jakarta, untuk bersiap-siap menerima tugas baru mengatur kedatangan Penasehat Politik Militer FALINTIL ke Timor-Leste.
Bersama Kristy swoard di Dili 10 Oktober 1995, Vila Harmonia
Setelah kembali dari Dili kami pindah ke Semarang untuk mempersiapkan semua kegiatan dan program-program yang berhubungan dengan pembentukkan BN dan merencanakan kunjungan Shalar Kossi ke Dili untuk bertemu dengan Kepala Staff FALINTIL Taur Matan Ruak, Wakil Kepala Staff David Alex Daitula dan Nino Konis Santana.
Mengatur kunjungan Penasehat Politik Militer FALINTIL ke Dili
Pada awal tahun 1996, yaitu bulan Februari saya kembali ke Dili guna mengatur kedatangan Shalar Kossi Avelino Coelho yang waktu itu menjabat sebagai penasehat politik militer FALINTIL untuk bertemu dengan Nino Konis Santana, Taur Matan Ruak dan David Alex Daitula. Kedatangan Shalar Kossi ke Dili itu sesuai dengan perintah dari Kay Rala Xanana Gusmao di Cipinang harus langsung dengan Nino Konis Santana dan Taur Matan Ruak dan David Alex Dai Tula.
Setibanya di Dili, saya mendapat sebuah surat dari Nino Konis Santana untuk tidak mengadakan kontak dengan semua struktur CEL/FC di Dili termasuk ketua CEL/FC Manu Date(David Dias Ximenes) dan saya harus mematuhi perintah tersebut. Namun perintah Konis Santana tersebut membuat Ketua CEL/FC di Dili kebakaran jenggot, dan saya yang harus menjadi sasaran dari kemarahan Ketua CEL/FC Manu Date saat itu. ketika Shalar Kossi tiba di Dili, saya langsung menyerahkan kepada Hamer, stafet Nino Konis Santana dan mereka langsung menuju Ermera.
Ketika saya sedang memonitor situasi di Dili bersama seorang teman bernama Simplicio dengan sebuah motor, saya dihadang oleh Ketua CEL/FC di Balide didepan Pos Polisi Militer(PM) Indonesia situasi dan tempat dimana kami bertemu dan Manu Date suara Manu Date yang lupa dan berteriak dengan sangat marah ketika itu bahwa;
“Akita, setiap kali kamu datang di Dili, Kalian mengorganisir para pemuda untuk melakukan aksi suaka politik dan semua kegiatan tidak pernah berkoordinasi dengan struktur CEL/FC”.
Namun waktu itu saya hanya diam menghindari pertengkaran mulut, lalu saya mengajak Manu Date kembali ke rumah Euteku untuk bertemu dengan Hamar stafet Nino Konis Santana untuk mendapat semua penjelasan tentang kedatangan Shalar Kossi. Setelah Manu Date mendengar penjelasan Hamar tentang kedatangan Shalar Kossi dari Hamar saya mengeluarkan surat Konis Santana yang ditunjukan saya tentang tidak menyerahkan Shalar Kossi kepada CEL/FC, baru Manu Date sadar bahwa kedatangan Shalar Kossi sebagai Penasehat Politik Militer FALINTIL. Berbicara tentang para pemuda yang pergi ke Jakarta untuk lompat pagar kedutaan asing adalah inisiatif sendiri. Dirumah rumah Eteuku saya menjelaskan kepada Manu Date bahwa para pemuda yang pergi ke Jakarta untuk meminta suaka politik adalah keinginan mereka tersendiri, kami tidak pernah mengorganisir mereka untuk keluar dari Timor-Leste.
Namun setelah tiba dirumah Eteuku saya hamper ditonojok oleh Manu Date karena Manu Date tidak dapat mengontrol emosinya, setelah menghabiskan segelas air putih beberapa menit kemudian Hamaar dan Eteoku memberikan penjelasan kepada Manu Date bahwa Aquita hanya menjalankan tugas komando karena itu adalah perintah yang harus ditaati. Mendengar penjelasan tersebut penanggungjawab CEL/FC itu baru menyadari bahwa kedatangan Shalar Kossi adalah sebagai penasehat politik militer FALINTIL dan hanya bertemu dengan para komandan Frente Armada (FA) NINO KONIS SANTANA, kepala Staff FALINTIL Taur Matan Ruak dan Wakil kepala Staff FALINTIL David Alex Daitula. Waktu itu kami harus membohongi Manu Date bahwa Shalar Kossi belum tiba di Dili.
Nino Konis Santana dengan Shalar Kossi
Setelah hampir dua minggu lebih di Timor Leste, dua hari dua malam bertemu dengan Nino Konis Santana di Ermera, kami melanjutkan perjalanan kami menuju Baucau untuk pertemuan berikutnya dengan Taur Matan Ruak dan David Alex Daitula. Pertemuan tersebut berlangsung lima hari empat malam tanpa tidur. Pertemuan itu membahas semua kegiatan militer dan aksi militer selanjutnya. Setelah semua pertemuan itu terlaksana, dua hari sebelum Shalar Kossi keluar dari Dili menuju kupang NTT, saya mengatur pertemuan Shalar Kossi dengan Manu Date di rumah Maun Sandival di surik mas bersama Antonio Ai tahan Matak.
Dalam pertemuan tersebut Shalar Kossi menjelaskan kepada Manu Date bahwa kedatangannya di Dili tidak harus melalui CEL/FC, karena Dia Shalar Kossi harus bertemu langsung dengan para petingi FA FALINTIL di Hutan. Pertemuan antara Shalar Kossi sebagai penasehat Politik Militer dengan EMF dan wakil EMF dan Nino Konis Santana saat itu guna membahas aksi-aksi militer dan politik agar dapat memaksa pemerintah Regim Militer Indonesia yang dipimpin oleh soeharto menuju meja perundingan dengan Pemimpin tertinggi CNRM/CNRT yang juga adalah sebagai Panglima Tertinggi FALINTIL Kay Rala Xanana Gusmao.
Pertemuan Shalar Kossi dengan Ma’Hudu
Selain bertemu Manu Date, saya bersama Jose Manuel Fernandez mengatur pertemuan berikutnya antara Jose da Costa alias “Mau Hudu” dengan Shalar Kossi di rumahnya saudara sepupu Eladio Metan(Nunu Gailhos) di Lahane mota sorin. Pertemuan itu berlangsung selama 4 jam itu terjadi sebuah diskusi yang sangat serius mengenai masadepan FRETILIN setelah kemerdekaan, antara mereka (Mauhudu dan Shalar Kossi), saya masih ingat dengan jelas pernyataan Mauhudu waktu itu. Yaitu sebuah pernyataan singkat yang dilontarkan dari Mau hudu dengan mengatakan bahwa “FRETILIN mengadopsi SOCIAL DEMOCRATA-SOSDEM”
Beberapa bulan di Jakarta pada bulan Juni 1996, saya kembali ke Dili untuk mengurus passport Indonesia agar dapat bepergian ke luar negeri dengan tugas tugas lainnya. Untuk mendapatkan passport Indonesia saya harus berperilaku seperti orang yang telah berintegrasi dengan Indonesia dan menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh kepolisian Indonesia. Semua pertanyaan itu menyangkut hubungan dan keterlibatan dengan organisasi GPK-FRETILIN dan keterlibatan dalam aksi demonstrasi.
Sebelum memasuki ruang interview untuk menjawab semua pertanyaan yang diajukan di atas kertas putih, seorang polisi berpakaian preman menghampiri saya dan berbincang-bincang dengan saya. Polisi itu bertanya pada saya;
“Adik kuliah di Jawa?” Saya menjawab pertanyaan tersebut dengan santai dan berpura-pura sebagai seorang mahasiswa sedang mempersiapkan diri untuk suatu pertukaran pelajar atau yang melanjutkan sekolah ke luar negeri.
Dan polisi berpakaian preman itu pun menasehati saya dengan mengatakan;
“Jangan mengikuti hasutan dari mereka yang selama ini tidak tahu tentang proses INTEGRASI” lalu saya menjawab dengan baik dan jelas bahwa saya lebih konsentrasi pada kuliah saya pak”.
Setelah dua bulan di Dili semua proses untuk mendapatkan passport Indonesia berjalan dengan normal, saya mendapatkan passport Indonesia dan kembali ke Jakarta. Ketika saya kembali ke Jakarta kami harus pindah ke Semarang. Ketika itu Shalar Kossi bersama keluarganya sedang dalam pengejaran Intelengen Indonesia BIA(Badan Intelegen ABRI. Di semarang saya bersama Leopodo Monis(Vokalis VI-ALMA X), Siku Samureu, Mana Nani Santos istrinya Ano Kanelas kami mengontrak sebuah kos-kosan. Ketika itu Leopoldo Monis mendapat sebuah tugas untuk berangkat ke Dili melalui jalan darat menuju Timor-Leste dengan membawa sebuah tas yang berisi amunisi dan granat untuk FALINTIL di hutan.
Melalui jalan darat; dari Semarang menuju Bali, dari Bali menuju Mataran, dari Mataran menuju Flores Larantuka dengan kapal Ferry Leopoldo Monis menuju Kupang, dari Kupang menuju Dili. Jalur ini merupakan jalur yang kami gunakan untuk memasukan segala bantuan untuk FALINTIL.
Dominic, Wartawan Asing untuk Peliputan Kontak senjata FALINTIL dengan TNI.
Setelah Leopoldo Monis berangkat ke Dili kami pindah ke Ungaran masih di Semarang, untuk mencari tempat baru sebuah rumah untuk dikontrak dan dijadikan sebagai tempat untuk pelatihan merakit Bom. Setelah mendapatkan rumah kontrakan pada tanggal 31 Desember 1996 saya bersama Laurindo Lourdez mendapatkan perintah untuk pergi ke Jakarta, karena ada sebuah surat dari Panglima Tertinggi FALINTIL Kay Xanana Gusmao yang harus diambil di rumah kontrakannya Mana Kristy Swoard. ketika itu kami berdua tidak punya uang yang cukup untuk membeli tiket langsung dari Semarang menuju Jakarta. Pagi-pagi sebelum matahari terbit Kami melakukan perjalanan dengan Bus tapi dengan perjalanan stafet; Dari Semarang kami menuju Kendal, dari Kendal kami menuju Indramayu, dari Indramayu kami menuju Cikampek. Ketika tiba di Cikampek kami telah kehabisan uang, Bus indramayu-Jakarta per-orang 4500 rupiah, saya menghampiri seorang supir Bus Cikampek Jakarta, orang Batak dan berbicara terus terang kepada supir tersebut bahwa; “tujuan kami mau pergi Jakarta tapi kami kehabisan uang” setelah mendengar keterus-terangan kami supir tersebut bertanya kepada kami; “kalian berasal dari mana?” saya menjawab; kami berasal dari Flores!! Lalu supir tersebut berkata kita sama-sama merantau saya dari BATAK pulau Sumatra. Kami diizinkan untuk menunpangi Bus yang dikendarai oleh Batak tersebut menuju Jakarta dengan diberi tempat duduk didepan di sebelahnya supir tersebut.
Selain mencari sebuah rumah untuk dikontrakan kami harus mengorganisir seorang wartawan-kamera man yang akan mengunjungi TL melalui Jill Jollief guna meliput aksi FALINTIL dalam melakukan penyergapan terhadap TNI pada perayaan 20/08/1996 ulang tahun FALINTIL yang ke 21. (Aksi tersebut berlangsung di sebuah tikungan di Aslaitula.
Dari Jakarta, kawan Joao Bosco Carceres Alias Sa’unar berangkat ke Dili untuk mengatur kedatangan Wartawan tersebut. Selama beberapa hari Kawan Sa’unar di Dili dan di hutan dan menyerahkan wartawan tersebut kepada Wakil kepala staf David Alex Daitula dan para komandan gerilyawan tersebut mulai menyusun aksi militer untuk menyerang TNI.
Penyerangan yang diliput oleh wartawan asing yang bernama Dominic itu dipimpin langsung oleh Kepala Staf FALINTIL dan Wakil kepala Staf waktu itu, Taur Matan Ruak dan David Alex DAITULA.