Total Pageviews
Translate
Friday, December 28, 2012
Tentang Tama laka Aquita Nofi Part 6
Setelah wartawan tersebut berhasil melakukan peliputannya atas penyerangan FALINTIL terhadap TNI, dan kaset rekaman itu sampai di Jakarta sekitar bulan October 1996. Ketika itu Jill Jollief telah menunggu di Singapore.
Dari Semarang, saya terbang menuju Singapore melalui pulau Batam, dan dari pulau Batam saya menggunakan kapal api menuju Singapore. Ketika saya tiba di pelabuhan Singapore, Jill Jollief telah menunggu disana dan sedang meloby para pegawai imigrasi Singapore. Waktu itu ada pemeriksaan yang begitu ketat di pelabuhan tersebut, namun berkat loby Jill Jollief diimigrasi yang mengatakan bahwa saya adalah anak dari temannya, saya berhasil keluar dari pelabuhan Singapore menuju hotel dimana Jill Jollief menginap.
Sebelum berangkat ke Singapore dan Portugal saya melakukan sebuah lawatan ke Jawa dan Bali untuk bertemu dengan para pemimpin RENETIL dan para teman-teman di bandung yang selalu mengatakan diri mereka Indenpenden seperti DR Nelson Martins(Menteri Kesehatan Pemerintahan AMP), Omen dan Florintino. Dari Bandung saya menuju ke Jogyakarta di Jogyakarta saya bertemu dengan Pederito dan teman-temannya, di Solo saya bertemu dengan Jose Sereno dan di Malang saya ingin bertemu Mariano Sabino akan tetapi keinginan itu tidak terwujud karena menurut teman-teman bahwa Mariano Sabino Lopez(Menteri Pertanian AMP) dalam persembunyian tidak dapat bertemu dengan pemimpin RENETIL yang saat itu mengendalikan organisasi RENETIL dari Malang, lalu saya menuju ke Bali.
Ada dua Tujuan dari lawatan tersebut pertama untuk menawarkan kepada kepemimpinan mereka RENETIL sebuah aksi bersama guna mendesak pemerintah Indonesia berdialog dengan pemimpin perlawanan CNRM di Cipinang kedua meminta pertangunjawaban mereka akan kampanye RENETIL yang selama itu mengatakan bahwa Assosiasi Sosialis Timor(AST) adalah orang-orangnya Dubes Keliling Francisco Lopez da Cruz.
Ketika itu para member RENETIL selalu mengatakan bahwa AST adalah bagian dari kelompok orang-orang pendukung Intergrasi. Ketika itu saya datangi tempat mereka dengan semua foto-foto dari pertemuan Shalar Kossi dengan EMF Taur Matan Ruak dan David Alex. Dengan melihat foto-foto tersebut saya mengajak mereka untuk berdialog dan menawarkan aksi bersama dijakarta atau di Dili. Dari dialog tersebut saya bisa memahami bahwa para member RENETIL tidak memiliki visi yang jelas.
Mereka para member RENETIL tersebut memiliki misi yang sama kemerdekaan untuk Timor-Leste tapi tidak memiliki pandangan ideologi politik yang jelas untuk masadepan Timor-Leste setelah mencapai kemerdekaan. Bisa dimaklumi karena waktu itu para pemimpin RENETIL mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh CNRM bahwa tidak harus berbicara partai politik dalam masa perjuangan menuju kemerdekaan.
Karena bersikap non-partai dan dengan munculnya AST dimata mereka dianggap melawan aturan yang dikeluarkan oleh pemimpin perlawanan maubere Kay Rala Xanana Gusmao. Namun setelah mencapai kemerdekaan para member RENETIL mulai rame-rame mendirikan Partai Demokrat dan beberapa member RENETIL bergabung dengan PSD dan Partai lain.
Mengikuti Konferensi di Universidade Porto tentang Timor-Leste
Sekembalinya dari Singapore, kami mendapat sebuah undangan dari Universidade Porto-Portugal untuk mengutus dua orang ke Portugal pada Juli- Agustus 1997 guna mengikuti sebuah conferencia tentang Timor Leste. Waktu itu saya bersama Domingos da Silva ditunjuk untuk berangkat ke Portugal mewakili AST. Kepergian kami ke Portugal mengundang reaksi keras dari kawan-kawan RENETIL karena seharusnya mereka yang diundang, kok kenapa undangan tersebut harus ditujukan kepada AST? Hal tersebut terjadi juga di Portugal ketika kami sampai di Porto, ada beberapa kawan-kawan RENETIL yang masih melihat AST sebagai tantangan bagi mereka. Sama halnya dengan kepemimpinan FRETILIN di diaspora seperti Marie Alktiri dan Jose Luis Guteres, mereka melihat AST sebagai ancaman di masa-masa yang akan datang setelah Timor Leste mencapai kemerdekaan. Karena AST akan mentransformasikan diri menjadi partai politik di Timor Leste dengan suatu perjuangan politik ideologis yang jelas.
Di Porto-Portugal, waktu itu saya bertemu dengan Jose Luis Guteres di luar gedung konferensi bersama Olimpio Branco, dan kami berbicara tentang afiliasi AST dibawah FRETILIN namun waktu itu Jose Luis Guteres menyatakan bahwa;
“Jika ingin bergabung dengan FRETILIN, tidak perlu membentuk Asosiasi Politik”
Dari pernyataan Jose Luis Guteres tersebut, membuka pikiran saya dan memberikan suatu kesimpulan bahwa keinginan mereka, Jose Luis Guteres, Marie Alktiri dan Generasi mereka yang berada di diaspora ingin mentranformasikan FRETILIN menjadi Partai Politik. Disana kami tidak berdebat panjang lebar tentang persoalan tindak lanjut afiliasi AST untuk FRETILIN.
Pertemuan saya dengan Ramos Horta berlangsung di Aeroporto Lisboa-Portugal, ketika itu melalui Natach Maden, sekretaris Ramos Horta, kami bertemu dan berbicara tentang bagaimana memaksa pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan diktator Jenderal Soeharto untuk bernegosiasi atau berbicara dengan Pemimpin tertinggi CNRM/CNRT yang saat itu sedang mendekam di penjara Cipinang dalam mencari penyelesaian masalah Timor-Leste. Dalam pembicaraan dengan Ramos Horta, kami lebih fokus pada bagaimana memperkuat barisan militer dengan mensuplai amunisi, senjata dan bahan peledak kepada Frente Armada FALINTIL. Ramos Horta yang ketika itu mengatakan bahwa;
“kekuatan FA-FALINTIL dan Pasukan Khusus BN(Brigada Negra) adalah sebagai kekuatan yang sangat determinan untuk ikut memaksa pemerintah Indonesia dalam mencari proses penyelesaian masalah yang dihadapi oleh rakyat Timor-Leste jika pemerintah Indonesia bersikeras dalam mencari penyelesaian masalah Timor-Leste, segala cara dapat kita tempuh”.
Sekembalinya saya dari Portugal, saya berbicara dengan Shalar Kossi ketika kami sedang berjalan di kompleks perumahan Mahesa. Saya mengajukan usulan saya untuk mentransformasikan AST ke Partai Sosialis Timor dan Shalar Kossi pun menyetujui dan memikirkan masa depan AST, sehingga akhirnya mentransformasikan AST menjadi Partai Sosialis Timor melalui sebuah mini kongres.
Karena perbedaan persepsi dalam melihat FRETILIN, dimana dalam pemikiran kami FRETILIN adalah sebuah front pembebasan bangsa yang diperkuat oleh organisasi politik sebagai underbownya dan mengikuti apa yang menjadi “compromisso politico da FRETILIN” yang mengatakan bahwa; “FRETILIN akan memimpin RDTL selama 5 sampai 10 tahun setelah itu kekuasaan politik akan diberikan kepada Partai Politik”. Hal itu yang menyebabkan Xanana Gusmao dan beberapa tokoh FRETILIN di hutan mendirikan PMLF(Partai Marxista-Leninista FRETILIN pada tahun 1977.
Sementara itu AST yang saat itu melalui polit biro sedang menerima perintah untuk menjalankan dan memimpin tugas dari Komandante Kay Rala Xanana Gusmao dalam mengendalikan Brigada Negra (pasukan khusus FALINTIL) yang dibentuk oleh Shalar Kossi FF(Avelino Maria Coelho) sebagai Conselheiro Politik Militar yang bertanggungjawab langsung kepada Comandante em Chefe das FALINTIL Kay Rala Xanana Gusmao.
Tugas-Tugas sebagai Anggota Pasukan Khusus FALINTIL
Kembali dari Portugal, Kami mulai berkonsentrasi dengan kegiatan BN, Waktu itu BN di bagi menjadi empat seksi, saya diangkat sebagai komandan operasional Seksi C BN untuk melancarkan gerilya Urbana di seluruh kota di Indonesia dan Dili. Sedangkan seksi A dan B bagian produksi, tugas mereka memproduksi sebanyak mungkin BOM untuk Seksi A dan B dipimpin oleh Antonio Maher Lopez (Fatuk Mutin), dengan anggota; Joao Bosco Carceres, (Sa’unar), Laurindo Lourdez (Radot Kadomi) dan Nunu Vicente Pereira (Ran Nakali). Seksi D adalah bagian Intelegen, yang beranggotakan Domingos da Silva, Joaquim Santana dan Nunu Vicente Pereira di bawah langsung kendali Shalar Kossi.
Waktu itu kami menyewa dua rumah, yang satu di sebuah perumahan Mahesa III digunakan untuk pelatihan training merakit BOM. Pelatihan yang berlangsung 3 minggu bersama Mr. Geofry, kami berhasil mengenal dan menguasai berbagai bahan peledak. Setelah itu kawan-kawan yang ditugaskan untuk memproduksi mulai pindah ke sebuah kontrakan yang disewa di Demak sebagai laboratorium BN guna memproduksi sebanyak mungkin bahan bahan peledak yang dibutuhkan oleh saya untuk melancarkan operasi BN.
Setelah merakit BOM itu kami mendapat perintah dari Comandante Em Chefe das FALINTIL untuk membawa 21 buah BOM rakitan berupa Bom Detenator yang memiliki daya ledak dapat menghancurkan 10 cm baja dan 50 Bom Kapsul menuju Timor Leste. Tujuannya adalah untuk melancarkan operasi terhadap pos-pos Polisi atau Tentara Nasional Indonesia di seluruh Timor Leste serta menghancurkan tempat vital perekonomian di Indonesia tanpa pertumpahan darah.
Pada 9 September 1997, saya berangkat dari Semarang menuju Bali bersama Shalar kossi dan Mana Sabina(istri Shalar Kossi) dengan menggunakan travel. Tiba di Surabaya, saya melanjutkan perjalanan menuju Bali, sementara Shalar Kossi bersama Mana Sabina menetap di Surabaya menunggu Maun Alau(Laurindo Lourdez) yang waktu itu telah berada di Bali untuk bertemu dengan Mana Kristy Swoard(Istri Xanana sekarang). Di Bali saya menginap di sebuah kos salah seorang teman bernama Abesi Kuluhun di gang Tanjung. Tempat kos-kosan tersebut bersama dengan beberapa kawan kawan anggota RENETIL. Waktu itu selain waspada terhadap para intelegen ABRI juga ketakutan terhadap beberapa pengurus RENETIL yang dicurigai telah bermain double agen dengan para Intelegen ABRI di Denpasar-Bali. Di Bali saya harus menginap dua malam satu hari menungu Kapal Tatamailau.
Pada tanggal 11 September 1997 pukul 07.00 pm, saya berangkat dari kos menuju pelabuhan dengan menggunakan Taxi. Waktu itu saya bersama seorang teman yang saat itu selalu bersama saya di Bali, namanya Paulo Rodrigues.
Setibanya kami di pelabuhan Bali kami bertemu seorang pengurus atau anggota lama RENETIL yang waktu itu telah dicurigai oleh para mahasiswa Timor-Leste baik anggota RENETIL maupun yang tidak bergabung dengan RENETIL bahwa telah bermain double agen dengan para Intelegen ABRI. Namun waktu saya sendiri melihat orang yang selama itu dicurigai berada disana dengan seorang temannya yang berpenampilan agak mirip militer. Mereka berada disana, di pelabuhan tersebut sampai KM Tatamailau berlabuh di pelabuhan Benoa-Denpasar-Bali sekitar jam 10.00.pm.
Ketika kapal tatamailau berlabuh dipelabuhan Benoa Denpasar Bali waktu itu kawan Ran Nakali(Nunu Pereira Zeli) yang mengantar saya Ke pelabuhan. Namun waktu itu saya telah melihat seorang teman anggota RENETIL bernama POMPEIA yang selama itu dicurigai sebagai double agen atau informan intelegen Indonesia sedang berada dipelabuhan Benoa bersama seorang temannya orang Indonesia.
Saya menghampiri Ran Nakali dan menyuruh nya pergi, setelah Ran Nakali pergi karena kenal baik dengan Pompeia saya menghampir Pompeia dan berjabat tangan dengan Pompeia dengan temannya. Ketika bertemu dengan Pompeia saya tidak merasa ketakutan terhadap Pompeia karena saya telah mengenalnya selama saya berada di Indonesia dan selalu mengunjungi Pompeia di kosnya, karena ketika itu setiap kali saya mendapat tugas ke Dili saya selalu menginap di tempat kawan Abesi Kuluhun di Gang Tanjung Denpasar Bali yang berhadapan dengan kosnya Pompeia.
Sesuai dengan pembicaraan saya dengan teman-teman dekat Pompeia setelah kemerdekaan menceritakan kembali bahwa setelah keberangkatan saya dari pelabuhan Benoa dalam sebuah acara makam dan minum bersama dengan teman-teman Pompeia mengatakan bahwa Pompeia mengatakan bahwa “Kapal Tatamailau tidak akan sampai di Dili”.
Apa yang saya rasakan saat itu hanyalah kecurigaan, namun ketika dalam perjalanan menuju Dili yang memakan waktu 4 hari 3 malam. Di Semarang, pada tanggal 13 September 1997 telah terjadi ledakan di laboratoriun BN akibat dari kawan Sa’unar ketiduran dan lupa mengontrol suhu temperature campuran bahan kimia potassium hydroxide dan Acidton peroxide yang ditaruh di dalam lemari es. Suhu temperatur yang seharusnya di setup untuk tidak terlalu dingin atau tidak terlalu panas, akhirnya bahan tersebut meledak dan menyebabkan kawan Sa’unar mengalami luka di bagian paha dan berhasil melarikan diri.
Ketika terjadi ledakan Laboratorium Brigada Negra (BN) di Demak Semarang pada tanggal 13 saya dalam perjalanan di tengah lautan antara Flores menuju Kupang. Penangkapan terhadap saya dan Paulo Rodrigues di pelabuhan Dili, pada tanngal 15 September 1997. Perwakilan CNRM, Wakil Special Kay Rala Xanana Gusmao pemimpin perlawanan CNRM/CNRT di luar negeri, Jose Ramos Horta adalah orang pertama yang mengeluarkan pernyataan bahwa kelompok BN yang di komandai oleh Sekretaris Jenderal AST Shalar kossi adalah bukan bagian dari CNRM/CNRT.
Pernyataan tersebut untuk menghindari tuduhan terorisme yang dikampanyekan oleh pemerintah Indonesia. Beberapa hari kemudian, Pemimpin Tertinggi CNRM/CNRT yang juga adalah Comandante em chefe das FALINTIL Kay Rala Xanana Gusmao mengeluarkan sebuah pernyataan kepada seluruh kedutaan asing di Jakarta bahwa;