Total Pageviews

Translate

Friday, December 28, 2012

Tentang Tama Laka Aquita Nofi Part 12

BERSAMA FALINTIL DALAM PROSES REFENDUM BAGI PENENTUAN NASIB SENDIRI.
Sambil menungu saatnya tiba untuk referendum, kami terus melakukan aktivitas latihan militer seperti olahraga dan training mengbongkar dan memasang kembali senjata, training penembakan serta training tentang memasang radio komunikasi agar dapat mengontak regiao I dan regiao IV.
Ketika itu telah terjadi pembelotan yang dilakukan oleh para tentara nasional Indonesia yang dilakukan oleh para tentara Timorenses. Lalu saya ditugas untuk memasang radio komunikasi di Capela Soibada, saya berangkat ke soibada dengan sekelompok mantan tentara nasional Indonesia asal Timor Leste yang membelot bergabungan gerilyawan FALINTIL mereka sekitar 10 orang. Setelah selesai menyelesaikan tugas saya empat orang dari mereka mengantarkan saya kembali ke acontanisasi FALINTIL di Waimori.
Pada tanggal 30 Agustus 1999 merupakan hari yang ditungu-tungu oleh seluruh rakyat Timor-Leste. Waktu itu di acontanisasi FALINTIL di Waimori menjadi Sepi semua gerilyawan yang tidak teridentifikasi semuanya pergi ke tempat pengumutan suara. Di acontanisasi tersebut hanya tinggal 200 orang gerilyawan yang menetap di Waimori tidak mengikuti referndum. Kami menungu di tempat acontanisasi FALINTIL sampai para gerilyawan yang mengikuti referendum kembali. Setelah selesai mengikuti referendum mereka kembali ke acontanisasi untuk menunggu hasil yang akan diumumkan pada tanggal 4 september 1999. Sebelum mendengar hasil referendum tempat acontanisasi FALINTIL di banjir oleh rakyat sipil karena para milisi dan TNI yang mulai mengancam dan melakukan terror serta menakut-nakuti para penduduk sipil.
Tanggal 4 September 1999 adalah hari kemenangan rakyat Timor-Leste di Waimori kami merayakan hari itu dengan menembak ke atas langit merayakan kemenangan atas perjuangan yang panjang selama 24 tahun.
Kemenangan itu mengantarkan rakyat menuju suatu kebebasan yang harus dibeli dengan darah dan air mata kesedihan dan kegembiraan datang bersamaan dimana rakyat harus menerima kemenangan dengan hancurnya rumah dan hilangnya saudara dan sanak family mereka. Setelah hasil referendum diumunkan pada 4 september 99 milisi pro integrasi dan TNI mulai membunuh rakyat sipil dan membakar seluruh rumah masyarakat sipil di kota-kota. FALINTIL harus tunduk pada perintah Comandante Em Chefe das FALINTIL Kay Rala Xanana Gusmao untuk tidak menembak atau membalas tindakan milisi dan TNI. Namun waktu itu sebelum perintah itu diterima di Waimori Segundo Komandante Regiao III Ely Foho Boot bersama Kiak dan para gerilyawan FALINTIL yang lain telah melakukan penyergapan terhadap Kontingen Loro-Sae di wilayah Laleia dengan mengambil semua senjata yang dimilik para BRIMOB yang datang dari arah Baucau. Hari berikutinya dari Quartel Geral Chefe Estado Maior das FALINTIL mengumumkan Perintah Komandante Em Chefe das FALINTIL bahwa telah menerima perintah bahwa FALINTIL harus tetap diam ditempat dan tidak membalas kebrutalan para milisi pro-otonomi dan TNI.
Ketika itu telah terjadi pembelotan yang dilakukan oleh para tentara nasional Indonesia yang dilakukan oleh para TNI-Timorenses. Lalu saya ditugas untuk memasang radio komunikasi di Capela Soibada, saya berangkat ke soibada dengan sekelompok mantan tentara nasional Indonesia asal Timor Leste yang membelot bergabungan gerilyawan FALINTIL mereka sekitar 10 orang. Setelah selesai menyelesaikan tugas saya empat orang dari mereka mengantarkan saya kembali ke acontanisasi FALINTIL di Waimori.
Dari Waimori saya bersama beberapa teman ke Dili, di Dili saya bertemu kembali semua kawan-kawan PST di Bemori rumahnya Shalar Kossi untuk mendirikan kantor PST di Dili. Setelah itu kami mendapatkan tempat untuk dijadikan sebagai kantor PST di Balide. Setelah kantor PST didirikan pemimpin FRETILIN pertama yang mengunjungi kantor PST adalah Marie Alktiri. Kunjungan Marie Alktiri saat itu menunjukan bahwa antara PST dan masih memilik ikatan emosional yang sangat tajam karena praktek socialisme yang diimplementasikan oleh para pendiri dan pejuang FRETILIN dimasa perjuangan kemerdekaan telah menjadi tujuan politik PST dalam perjuangannya untuk tujuan perjuangan jangka panjang. Semua itu tertera dalam tuntutan politik PST yaitu 5 pilar proklamasi kemerdekaan yang dipertahankan oleh PST sebagai tuntutan untuk maju dalam pemilu pertama tahun 2001 merupakan syarat mutlak yang harus dihargai oleh semua partai politik di Timor-Leste.
Bersama Nilton Gusmao Mendirikan Radio FALINTIL “Voz da Esperanca” Selain bertemu dengan kawan-kawan PST saya juga bertemu kembali Nilton Gusmao yang waktu itu sedang mencari tempat untuk dijadikan stasium radio. Dan kami berdiskusi tentang keinginan kami untuk melanjutkan program kami untuk melanjutkan penyiaran Radio FALINTIL yang pernah mengudara di Waimori. Kami mencari sisa bangunan yang tertinggal tidak dibakar oleh milisi dan TNI untuk mendirikan Radio Stasion. Lalu kami mencari tempat untuk dijadikan radio stasion, ketika itu kami menemukan begitu banyak rumah kosong yang ditinggalkan oleh pemiliknya namun karena masalah moral kami tidak bisa mengambilnya karena cepat atau lambat pemiliknya akan kembali dari pengungsian. Setelah mendapatkan tempat untuk mendirikan radio stasion kami pergi ke Remexio untuk bertemu dengan Taur Matan Ruak untuk membicarakan kelanjutan dari penyiaran radio FALINTIL Dili dan namun waktu itu Komandan Taur Matan Ruak mengusulkan radio stasion itu diberinama Radio FALINTIL “Voz da Esperanca”. Dengan nama Radio FALINTIL “Voz da Esperanca” 88.10fm. Tujuan kami saat itu memberikan hiburan kepada rakyat yang sedang melewati masa-masa penghancuran pembakaran yang dilakukan oleh para milisi dan TNI. Ketika itu tidak ada sebuah radio stasion yang mengudara. Beberapa bulan kemudian Radio Timor Kmanek mulai mengudara.
Setelah mendirikan Radio FALINTIL saya bersama beberapa teman mengikut training journalis yang diberikan oleh Internews setelah mendapatkan certificate journalis saya bertemu dengan seorang komandan polisi UN dari kontingen polisi Austria dan diperkenalkan kepada polisi tersebut. Namun waktu itu adik saya bernama Inacio yang bekerja sebagai translator di UNTAET pada saat itu telah menceritakan semua cerita saya tentang keterlibatan saya dalam masa-masa perjuangan kemerdekaan. Setelah berkenalan dan bersahabat dengan komandan polisi kontingen Austria tersebut pada suatu ketika itu pada akhir tahun 2000 bulan oktober saya ditawari untuk pergi ke Portugal bersama seorang teman bernama Manuel dengan disponsori oleh komandan polisi Austria tersebut guna mendapatkan passport Portugal. Tujuannya bisa mengikuti kursus bahasa German dan melanjutkan pendidikan di Austria dan kami pun berangkat ke Portugal untuk mendapatkan kewarganegaraan Portugal dan kami berhasil mendapatkan kewarganegaraan Portugal. Namun ketika pada bulan desember 2000 kami didatangi oleh Fritz Prax di Portugal orang yang mengsponsori kami meminta saya untuk kembali ke Timor-Leste karena waktu itu saya tidak berterus terang kepada Fritz Prax bahwa pacar saya telah hamil. Namun waktu itu saya sadar bahwa saya harus kembali karena tanggungjawab moral dan tanggungjawab saya sebagai ayah dan kami menikah pada bulan September bertepatan dengan tangan penangkapan terhadap saya yaitu pada tanggal 15/09/2001.
Setelah menikah saya kembali aktif setiap kegiatan Radio FALINTIL, kegiatan partai PST dan kegiatan pembentukan FFTL(Federasaun Fotebola Timor-Leste) pada tahun 2001-2002. Kegiatan Radio FALINTIL yang pertama kami lakukan adalah menyelengarakan festival lomba nyanyi lagu pop pada awal bulan februari menjelang Valentine Day yang akhirnya mengorbitkan Lili Ribeiro sebagai juara satu dalam lomba tersebut.
Membangun persepakbolaan di Timor-Leste
Dalam membangun persepakbolaan di Timor-Leste, pada tahun 2001 bersama Nilton Gusmao kami menyelengarakan pertandingan sepakbola “Copa Esperanca” pertandingan tersebut berlangsung sampai final namun tidak dapat menentukan satu club yang juara karena Club asal kota Baucau FC ZEBRA tidak menerima kekalahan adu penalty yang dimenangkan oleh Club asal Becora CACUSAN BECORA.
Dari kompetisi tersebut saya bersama Nilton Gusmao diundang untuk ikut dalam rapat pembentukan FFTL setelah pembentukan panitia penyelengaraan kongres I FFTL. Kongres I FFTL tersebut berlangsung di GMT Dili dan Francisco Kalbuady terpilih sebagai Presidente FFTL pertama, Amandio Sarmento sebagai Sekjen FFTL. Hinga saat ini. Setelah kongres I tersebut saya termasuk salah satu anggota yang ikut mengembangkan team Juvinil bersama Aleixo Cobra namun waktu itu saya tidak begitu aktif dalam kegiatan FFTL. Pada tahun 2002 setelah restaurasi kemerdekaan selain aktif dalam kegiatan persepakbolaan di Timor-Leste saya juga menulis sebuah artikel yang dimuat surat kabar STL berjudul;
“kemerdekaan itu hanyalah toh sebuah jembatan emas bukanlah akhir daripada tujuan kita untuk membangun bangsa”.
Setelah pembentukan FFTL pada tahun 2003 saya bersama Nilton Gusmao beberapa teman kami mendirikan sebuah asosiasi desportiva esperanca dimana didalam organisasi tersebut ada beberapa cabang olahraga seperti sepakbola, Motocross, basket dan volibola dengan nama Asosiasi Desportivo Esperanca. Dengan modalitas berbagai cabang olahraga kami mendaftarkan organisasi sepakbola diagenda persepakbolaan domestic Timor-Leste. Dan kembali mengorganisir Copa Esperanca II yang terdiri dari 8 Club dengan system kompetisi “Full Compations”. Namun kompetisi tersebut tidak berakhir di final karena terjadi keributan antara pendukung FC Rusak Fuik (Bairo Pite) dengan FC Estrela Branca sebuah Club yang didirikan oleh para pemuda partai Fretilin dengan presiden clubnya adalah Lu’olo presiden Partai FRETILIN. Waktu itu karena yang ikut membantu keamanan adalah para teman-teman kami para ex-gerilyawan seperti ex-comandante “kiak” saya harus mendampangi teman-teman ke kantor polisi Distrik Dili. Kompetisi “copa esperanca” yang kedua berakhir ditengah jalan. Hal itu disebabkan oleh ketidaktahuan membedakan organisasi politik dan organisasi olahraga dalam dunia persepakbolaan.
Selain mengornasir “Copa Esperanca” saya juga aktif dalam kegiatan FFTL dalam mempersiapkan Timnas Timor-Leste dalam piala Tiger Cup 2004 namun waktu itu saya melihat bahwa managemen organisasi persepakbolaan Timor-Leste tidak berjalan sesuai dengan keinginan para pecinta sepakbola di Timor-Leste. Begitu banyak keluhan dan kritikan terhadap organisasi persepakbolaan FFTL yang dipimpin oleh senhor Francisco Kalbuadi lay sebagai presiden dan Amandio Sarmento sebagai Sekjen. Dengan melihat managemen organisasi yang tidak memuaskan saya mulai melakukan investigasi secara tersendiri terhadap system managemen organisasi FFTL dan menulis tentang persepakbolaan di Timor-Leste dengan semua data-data yang akurat saya dapatkan, saya mulai menulis ke surat kabar STL di Dili yang dimuat pada awal bulan Februari selama dua hari berturut-turut. Tulisan tersebut mendapat tanggapan yang serius dari sekjen FFTL Amandio Sarmento. Dan saya pun menanggapi tulisan Sekjen FFTL dengan menurunkan data-data tentang pengeluaran dan penarikan dana bantuan dari German dan FIFA untuk membantu persepakbolaan di Timor-Leste.
Dari tulisan yang dimuat di STL mendapat tanggapan yang sangat positif dari para pencinta sepakbola Timor-Leste sampai terjadi perpecahan didalam organisasi tersebut terbagi menjadi dua kubu. Kubu Fransico Kalbuady Lay dan Kubu Joao Mintha untuk reformasi organisasi FFTL.
Dalam kegiatan partai menjelang pemilu pertama untuk pembentukan Assembleia Constituante saya tidak begitu aktif dalam mengorganisir basis-basis partai pada saat itu, namun ketika itu begitu banyak propaganda politik yang dihadapi oleh PST saat itu tentang Ideologi yang dianut oleh PST adalah KOMUNIS. Para mantan RENETIL yang tergabung dalam PD(Partai Demokra) terus melancarkan propaganda mereka terhadap beberapa pemimpin daerah PST adalah milisi-pro-otonomi. Untuk menjawab semua propaganda tersebut saya pernah menulis sebuah artikel di harian STL berjudul; ‘Antara Ideologi dan Agama’.
Namun semua propaganda tentang PST adalah komunis tidak dapat menbodohi rakyat Timor-Leste karena rakyat Maubere dan FRETILIN telah mengalami propaganda semacan itu selama 24 tahun pendudukan Militer Indonesia. Propaganda-propoganda tersebut tidak dapat mematikan langkah PST untuk menjadi sebuah partai politik kiri yang berfaham Marxisme-Lennisme di Timor-Leste. Hal tersebut dapat dilihat dari keikutsertaan PST dalam pemilu pertama dengan mendapat satu kursi di parlemen nasional. Dalam sebuah wawancara dengan media Sekjen PST Avelino Maria da Silva alias Shalar Kossi ketika PST hanya mendapatkan satu kursi sekjen PST mengatakan bahwa;
“PST telah mencetak sejarah pergerakan kaum Sosialis di Asia tenggara terutama di Negara baru seperti Timor-Leste, satu-satunya sebuah partai sosialis yang mendapatkan kursi di parlemen dalam mayoritas masyarakat yang 95 persen adalah katolik. Ini merupakan kemenangan terbesar kaum sosialis di seluruh asia tenggara”.
Setelah pemilu pertama pada tahun 2003 PST ikut dalam membangun oposisi terhadap pemerintahan yang dipimpin oleh partai FRETILIN. Kertelibatan PST dalam membangun oposisi dengan suatu konsep yang jelas bahwa oposisi yang kuat adalah oposisi yang terorganisir secara rapih dengan pemerintahan bayangan yang jelas agar menbantu para anggota parlemen yang telah dipilih sebagai wakil rakyat dapat menjawab semua tuntutan masyarakat secara keseluruhan dengan kegiatan extra parlemen. Membentuk pemerintahan bayangan dengan mempelopori pembentukan platform bersama “Plataforma Unidade Nasional” terdiri dari PD,PSD,ASDT,PST,KOTA dan Trabalhista(Partai Buruh). Namun setelah deklarasi bersama di hotel Mahkota plataforma tersebut tidak bisa berjalan karena tidak ada satu partai politik yang berani melakukan pengorbangan dengan menyumbang segala sesuatu untuk setiap kegiatan plataforma unidade nasional, akhirnya PST pun membiarkan dan meningalkan plataforma tersebut dengan berjuang secara sendiri dan mengambil posisi bahwa PST bukanlah oposisi yang ingin menjatuhkan pemerintah dan berambisi untuk kekuasaan tetapi PST adalah oposisi yang mau memberikan penyadaran terhadap rakyat agar dapat belajar tentang politik karena kemerdekaan itu hanyalah sebuah jembatan emas bukanlah akir dari pada tujuan politik-ideologis PST.
Dengan membiarkan dan meningalkan plataforma unidade nasional PST lebih berkonsentrasi pada pembentukan basis partai dengan menbentuk organisasi buruh Uniao Nasional dos Trabalhadores yang kemudian berubah menjadi Serikat Buruh Sosialis Timor dan kemudian berubah menjadi Sindicato Trabalhadores Camponeses Trabalhadores Socialista de Timor. Selain pembentukan UNT pada tahun 2004, untuk mencetak intelektual yang kritis dalam dunia pendidikan kepeminpinan PST mendirikan sebuah Academi Relacaoes Internaternacional ARI dengan program D3 dan saya pun terdaftar sebagai mahasiswa di Academi tersebut. Untuk menghadapi perjuangan terhadap batas-batas laut dalam mempertahankan kekayaan minyak dan Gas di perairan Timor Gap, PST mengorganisir para mahasiswa melakukan aksi protes mogok makan didepan kedutaan besar Australia sebagai protes terhadap pemerintah Australia menyangkut kekayaan minyak dan gas Timor Gap dan batas-batas laut dan udara. Aksi protes tersebut berhubungan batas laut yang sesuai dengan hukum internasional dimana Australia telah mengklaim beberapa ladang minyak dan Gas di perairan Timor Gap dengan melakukan aksi longmarch keliling kota Dili dan aksi tersebut berakhir didepan kedutaan besar Australia.
Setelah aksi tersebut pada pertengahan tahun 2004 sebagai aktivis militant partai socialis bersama beberapa sepupuk karena kesukaan akan memancing saya membuat sebuah proposal kepada NGO Internasional CIDA dari Canada untuk menbantu para nelayan namun waktu itu saya direcomendasikan oleh NGO Internasional tersebut untuk bertemu kepala perikanan di kementerian Agricultor dan Pescas. Ketika itu saya harus bertemu directur perikanan bernama Joao Freitas adalah anggota dari partai Fretilin yang menyerahkan diri kepada tentara pendudukan military Indonesia dan kehidupannya saat itu pada masa pendudukan Indonesia sebagai kepala Perikanan dan aktivitasnya sebagai kaki tangan para intelegen SGI pada masa itu, namun waktu itu ketika saya mendatangi director perikanan tersebut bertanya kepada saya;
“Apakah saudara adalah anak FRETILIN? Kalau saudara anak FRETILIN maka saudara masuk dalam daftar perioritas. Karena pemerintahan ini memperioritaskan anak-anak FRETILIN, lihat mereka yang sedang berdiri menungu untuk bertemu dengan saya. Waktu itu ketika saya melihat keluar dari balik kaca jendela teman-teman saya sedang antrian didepan pintu mereka adalah Luis Oliveira, Joao Becora, Marcio dan beberapa teman lagi.”
setelah itu saya dengan tenang menceritakan kepada directur tersebut; “Ayah saya pada masa kolonialis Portuguses adalah tentara(tropas) Ibu saya adalah seorang guru pembantu mengajar disebuah sekolah didesa di kota Baucau. Ketika terjadi pergolakan politik di Timor-Leste pada tahun 1975 dimana telah berdirinya FRETILIN ayah dan Ibu saya adalah FRETILIN. Setelah Timor-Leste dicaplok oleh Militar Indonesia menguasai seluruh Timor-Leste ayah saya pegawai negri sipil PNS dan Ibu saya kembali mengajar sebagai guru, setiap hari senin mengikuti upacara bendera merah putih, namun setelah Timor-Leste merdeka ayah dan Ibu saya kembali ke FRETILIN dan mereka radikal ketika kita berbicara tentang FRETILIN, namun saya tidak, hanya darah mereka yang mengalir di dalam tubuh saya”.
Mendengar penjelasan saya director tersebut seperti kebakaran jengot dan mukanya kelihatan marah karena sindiran kata-kata saya tentang orangtua saya. Waktu itu saya hanya berterima kasih kepada director tersebut dan pergi. Ketika saya melangkah keluar baru directur tersebut bertanya kepada asistennya bernama Acacio”Maun Acacio” sepupuh Comandant Falur Rate Laek dan Maun Acacio;
“kamu kenal dengan pemuda tersebut? Maun Acacio menceritakan kepada directur tersebut pemuda itu namanya AQUITA. Pada masa perjuangan kemerdekaan dia hukum 20 tahun penjara karena merakit BOM di Indonesia dan membawa ke Dili dan ditangkap oleh TNI lalu melarikan diri dari penjara ke Hutan bergabung dengan FALINTIL bersama Comandant Falur Rate Laek”.
Ketika itu kebanyakan dari generasi muda yang putus sekaloh atau berhenti ditengah jalan akibat dari keterlibatan dalam perjuangan kami tidak dapat mengembangkan kemampuan untuk memiliki pekerjaan. Keinginan dan kemauan untuk kembali menyelesaikan pendidikan tapi seharusnya ini adalah tanggungjawab pemerintahan pertama, perekrutan pemuda dikirim ke Portugal, waktu itu seolah-olah generasi muda dipaksa untuk mengikut ikatan emosional dan romantisme generasi tua akan bahasa portuguese kebanyakan dari pemuda yang dikirim ke Portugal terpaksa harus meningalkan Portugal pergi ke UK dan Negara Eropa lainnya untuk bekerja sebagai Buruh.
Seharusnya pemerintahan pertama memperioritaskan generasi muda yang telah kehilangan segala-galanya, terutama pendidikan untuk menjamin masa depan generasi muda pejuang kemerdekaan. Tetapi tidak, para pemimpin politik lebih mempersiapkan undang-undang yang dapat menjamin kehidupan mereka ketimbang menjamin kehidupan rakyat dan para generasi muda, para mantan gerilyawan dan aktivis klandistin. Ketika itu, para generasi muda seperti teralienasi dan tidak dapat berbuat sesuatu untuk memperbaiki kehidupan dimasa-masa mendatang.
Pemerintahan FRETILIN yang seharusnya menjadi sebuah pemerintahan yang dapat merealisasikan mimpi-mimpi para pahlawan Timor-Leste yang telah gugur dalam perjuangan dengan nama besar FRETILIN sebagai pelopor kemerdekaan, namun semua itu hanya mimpi buruk bagi kami karena semua pernyataan dari kepemimpinan partai FRETILIN dan semua kebijakan politik tidak mencerminkan pembangunan bangsa yang sebenarnya sesuai dengan text proklamasi kemerdekaan 75 bahwa semuanya demi kepentingan rakyat.
Kepemimpinan partai FRETILIN tidak membedakan antara memimpin Negara dan memimpin sebuah partai politik. Segala sesuatu yang berhubungan dengan kritikan terhadap kebijakan politik pemerintah dianggap melawan FRETILIN dan ingin menghancurkan FRETILIN, kami generasi muda yang hidup dan dibesarkan di zaman pendudukan militer Indonesia dengan pengalaman dalam organisasi klandistin dengan pendidikan yang terputus ditengah jalan akibat perjuangan kemerdekaan dapat membedakan antara mengorganisir dan memimpin organisasi dalam mencapai satu tujuan bersama menuju kepentingan nasional bangsa.
Satu hal yang sangat jelas menentang hati nurani kami generasi muda adalah ketika rakyat dan generasi muda masih dalam kebingungan untuk memperbaiki kehidupan dalam mengisi kemerdekaan, produk-produk hukum yang diajukan oleh pemerintahan FRETILIN lebih menjamin kehidupan para pemimpin Negara daripada menjamin kelangsungan hidup generasi muda dan rakyat Maubere setelah perang. (baca; LEI PENSAO VITALISTA)
Sebagai generasi muda yang hidup dan dibesarkan dalam proses perjuangan kemerdekaan, kami semua menaruh harapan akan masa depan yang lebih baik dan demi terwujudnya pembangunan bangsa. Namun apa yang kami rasakan adalah ketidakadilan dan ketidaksamaan dalam hidup dengan kondisi-kondisi yang diciptakan pemerintahan pertama. Persoalan yang dihadapi oleh generasi muda adalah persoalan produkp-produk hukum yang ditetapkan oleh pemimpin pemerintahan pertama dan kebijakan politik pemerintahan pertama dan persoalan yang dihadapi oleh kepemimpinan partai FRETILIN adalah tidak dapat membedakan antara memimpin Negara dan memimpin partai politik. Kenapa saya berkata demikian? Karena produk-produk hukum yang ditetapkan oleh pemerintahan pertama lebih menguntungkan para pemimpin politik dari pada generasi muda dan rakyat Maubere.
Dengan situasi demikian, maka setiap kebijakan politik yang tidak menyentuh keadilan dan kesamaan hidup dalam hidup bermasyarakat, kebanyakan dari pemuda lebih memilih untuk pergi keluar dari Timor-Leste agar tidak merasa frustrasi dalam menghadapi semua kebijakan politik yang ada dan kondisi kehidupan yang tidak dapat menjamin keadilan ekonomi dan ketenangan dalam kehidupan.
Ketika sedang dalam kebingungan menghadapi semua kebijakan politik dan pernyataan-pernyataan politik kepemimpinanan partai FRETILIN waktu itu, saya dihubungi oleh seorang teman bernama Garibaldinho Espirito Santo untuk menggantikan posisinya disebuah NGO Australia (Apheda). Apheda adalah sebuah NGO yang bergerak dibidang Radio Komunitas. Ketika Radio Falintil didirikan, apheda juga termasuk salah satu NGO yang ikut membantu berdirinya eksistensi Radio Falintil. Saya menerima tawaran itu dan bekerja pada NGO tersebut. Waktu itu teman tersebut adalah salah satu teman kami dari Radio Falintil yang bekerja untuk Apheda. Dan ketika teman tersebut mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di Australia untuk kursus professional, saya diangkat untuk menggantikan teman tersebut dan saya pun bekerja untuk Apheda selama 6 bulan dari pertengahan tahun 2004 sampai 31 januari 2005 guna melanjutkan penyuluhan tentang pentingnya pendirian radio komunitas di setiap distrik agar rakyat dapat mendapatkan akses informasi dan perkembangan berita tentang proses transisi yang dijalankan oleh UNTAET sampai masa kontrak selesai pada 31 Januari.
Ketika itu saya tidak begitu aktif dalam kegiatan partai karena kesibukan saya dengan kegiatan NGO untuk mengorganisir radio komunitas. Dua tahun setelah restorasi kemerdekaan 2002, segala produk hukum belum di set-up sesuai dengan keinginan rakyat yakni produk hukum itu telah menghasilkan ketidakadilan sosial dan ketidakadilan ekonomi dalam kehidupan rakyat.
Para pemimipin yang memimpin Timor-Leste lebih menunjukkan arogansi politik partai dan sikap politik yang tidak mencerminkan sikap persatuan nasional bangsa yang telah dicetuskan oleh pahlawan bangsa maubere, seperti Saudoso Nicolau Lobato dan kemudian diteruskan oleh Kay Rala Xanana Gusmao, dengan selalu mengatakan bahwa;
“Sebagai manusia, kita masing-masing memiliki karakter yang berbeda, tapi kita juga harus memiliki kekuatan moral untuk saling menerima, menghargai dan mendengar pendapat orang lain”
Setiap pernyataan politik yang ada saat itu hanyalah pernyataan-pernyataan politik yang hanya mempertahankan sikap arogansi kepemimpinan politik partai dan sikap arogansi sebagai seorang pemimpin politik antara partai sejarah terhadap partai yang baru didirikan setelah kemerdekaan. Dengan sikap demikian, situasi politik kembali memanas sampai aksi protes terhadap polisi di SMA 28 November, dan aksi protes para mahasiswa terhadap pemerintahan FRETILIN yang dipimpin oleh para Mahasiswa UNTL menyerbu parlemen nasional sampai terjadi pembakaran terhadap rumah Perdana Menteri Marie Alkatiri di Pantai Kelapa dan beberapa toko di Dili termasuk Hello Mister dan menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan seorang anggota parlemen nasional mengalami luka serius.
Ketika mendengar kejadian aksi protes yang dilakukan oleh para pelajar dan mahasiswa di parlemen, saya menggunakan mobil NGO Apheda untuk pergi melihat aksi tersebut. Ketika sampai didepan gedung parlemen nasional, di depan gedung saya bertemu dengan Kamarada Shalar Kossi (Avelino Coelho) yang waktu itu sedang berada disana. Dan saya diminta oleh Kamarada Avelino Coelho untuk diantarkan ke Palacio das Cinzas untuk bertemu presiden RDTL Kayrala Xanana Gusmao. Sesampainya kami di Palacio das Cinzas, beberapa anggota parlemen dan beberapa menteri sedang berada ditempat itu, saya bersama seorang teman menunggu di luar. Setelah pertemuan selesai kami bersama Kay Rala Xanana Gusmao berangkat dari Palacio das Zincas menuju kantor Pusat Polisi PNTL, setiba disana massa sedang melempari PNTL dengan batu. Polisi pun melepaskan gas air mata, kami berada ditengah-tengah massa, Kay Rala Xanana Gusmao dan Shalar Kossi dijemput dan diantar masuk ke dalam Quartel General PNTL, saya diperintahkan untuk mengambil mobil nya Shalar Kossi yang ditinggalkan di depan gedung pemerintahan Palacio do Governu. Setelah kembali dengan mobil
Melihat situasi demikian, saya memutuskan untuk pergi keluar negeri untuk bekerja sebagai buruh. Keputusan yang sangat berat itu terpaksa saya putuskan, yaitu salah satunya dengan meninggalkan istri dan anak-anak. Ketika itu ada beberapa teman dekat yang mengatakan kepada saya;
“kenapa kamu harus pergi untuk bekerja menjadi buruh di Inggris setelah sekian lama menderita dan menghabiskan masa-masa muda-mu dalam perjuangan untuk kemerdekaan, dan ada yang mengatakan bahwa saya lebih mengutamakan ekonomi untuk keluarga daripada perjuangan politik setelah mencapai kemerdekaan”.
Ketika itu saya tidak menjawab semua perkataan yang muncul dan lebih memilih untuk diam. Keputusan itu harus saya ambil ketika anak kedua saya mendapat kecelakaan akibat dari kelalaian seorang dokter yang menangani kelahiran anak kedua saya. Anak saya seharusnya lahir secara normal, namun karena seorang Dokter berasal dari Jepang yang waktu itu mengambil tugas para Tim Medis “partera” Timorense yang saat itu siap menangani kelahiran anak kedua saya, sehingga pada akhirnya menyebabkan anak saya jatuh ke lantai dengan kepala bayi terkena tangga kecil yang ada di bawah dan karena itu menyebabkan keretakan di otak bayi dan sebelah kiri tangan bayi patah serta tidak bisa bergerak seperti bayi normal. Waktu itu saya tidak bisa berbuat sesuatu karena ketika bayi itu dilahirkan belum ada suatu undang-undang yang dapat memproteksi wanita dan anak-anak serta bayi akan dilahirkan. Sebagai seorang ayah, tentu saya tidak dapat menahan emosi dan saya dapat membuat keributan di rumah sakit tersebut, tapi karena Negara kita baru merdeka saya pasrah dan menerima keadaan bayi itu secara baik-baik dengan selamat dan mencari jalan sendiri untuk proses pertumbuhan selanjutnya.
Kejadian tersebut mengakibatkan bayi saya tidak bisa minum dan makan secara normal. Melihat keadaan demikian yang menyebabkan anak saya mengalami kelainan dalam pertumbuhannya. Saya bersama istri terus dan selalu membawa ke rumah sakit untuk mengikuti terapi, namun tidak ada perkembangan dalam pertumbuhan sampai memasuki usia 6 bulan seperti bayi normal. Sebagai ayah, saya harus berbuat sesuatu demi pertumbuhan anak saya.
Dengan demikian, saya memutuskan untuk pergi mencari pekerjaan di luar negeri karena waktu itu saya telah memiliki kewarganegaraan Portugis. Saya memutuskan untuk meninggalkan semua kegiatan partai politik PST dan kegiatan persepakbolaan di Timor-Leste guna pergi mencari dukungan financial yang dapat membantu saya dan dapat membawa keluar anak dan istri saya, terutama anak kedua saya dengan pengobatan yang dapat menjamin pertumbuhan anak kedua saya. Dan saya pun pergi meninggalkan ketiga anak-anak saya yang masih kecil 6 tahun,5 tahun dan 3 tahun bersama istri di Timor-Leste.
Tiba di Oxford-Inggris pada 3 April 2005, dua bulan saya hanya mengurus semua document-document seperti National Insurance Card dan Account Number untuk mencari pekerjaan. Namun di kota Oxford, saya tidak dapat pekerjaan dan terpaksa harus mengikuti teman-teman ke Peterbrough. Di Peterbrough, saya bekerja pada sebuah industri pertanian melalui sebuah agency OneCall yang bekerja dengan sebuah industri potatos-warehouse untuk dikirim ke supermarket besar. Bekerja 12 jam dengan standard gaji minimum 5.50 pound per jam, saya bekerja 12 jam per hari per malam. Pada hari ketiga saya bekerja pada malam hari yang dimulai jam 06 petang hari pulang jam 06 pagi.
Satu hal yang tidak dapat saya lupakan dalam hidup saya ketika itu, saya tidak punya uang untuk makan. Ketika bekerja sampai tengah malam saya merasa lapar karena pekerjaan tersebut hanya memilih potatos yang rusak, dan saya terpaksa harus makan potatos tersebut untuk bertahan sampai jam 06 pagi. Setelah tiga bulan bekerja di Peterbrough, saya harus kembali ke Oxford karena beberapa perusahaan yang saya daftar waktu itu, salah satunya adalah perusahaan fabric tractor milik orang Germany, perusahaan tersebut kebanyakan pekerjanya berasal dari Philipina dan East Timorese. Perusahaan tersebut menelpon saya untuk bekerja di Oxford dan ketika itu saya berangkat ke Oxford.
Di Oxford, saya mulai bekerja dengan standard gaji 6 pound per jam. Tiga sampai enam bulan kami mendapatkan kenaikan gaji dari 6 pound ke 6.50 pound per jam. Setelah enam bulan ada kenaikan gaji lagi namun waktu gaji saya tidak dinaikan dan saya melakukan protes karena para teman-teman yang baru masuk gajinya sudah dinaikkan tapi gaji saya masih tetap 6.50 pound per jam. Ketika itu di perusahaan tersebut telah telah melakukan penghinaan terhadap para teman-teman kami oleh pemilik perusahan dengan kata-kata rasisme “monkey”. Pemilik perusahaan tersebut berkata kepada salah seorang staff orang Inggris, bahwa katakan kenapa orang-orang itu bekerja sambil berteriak seperti “monkey”. Menanggapi perkataan tersebut kami para buruh bersatu dan melakukan aksi mogok kerja selama tiga hari, dengan aksi mogok itu telah menyebabkan kerugian perusahaan mencapai 35 ribu poundsterling. Ketika itu mayoritas dari kami belum mendaftarkan diri pada trade union, namun ketika terjadi kasus tersebut, kami semua mendaftarkan diri sebagai anggota trade union dengan setiap bulan membayar 10 poundsterling. Setelah mendapatkan kartu anggota trade union, pengacara bersama kami mulai mengadakan dialog dengan pemilik perusahaan. Dalam dialog segitiga antara trade union, buruh dan pemilik perusahaan, berhasil mengeluarkan kebijakan untuk memberikan day off selama tiga hari dengan tetap menerima gaji secara normal. Kebijakan tersebut diambil guna melakukan investigasi terhadap isu “monkey” yang dikembangkan oleh salah seorang staff perusahaan. Setelah tiga hari off kami kembali bekerja, namun saya tidak bertahan lama di perusahaan tersebut karena dengan gaji 800 poundsterling tidak cukup untuk membiayai istri dan anak-anak saya pergi ke Inggris.
Dua tahun start September 2005 sampai dengan 2007 bulan Juli bekerja di pabrik traktor tersebut terpaksa saya harus mulai mencari pekerjaan baru dengan mendaftarkan diri ke sebuah pabrik BMW Mini di kota Oxford karena waktu itu istri saya telah mengikuti saya ke Inggris dan anak-anak kami tinggal bersama orang tua kami. Satu tahun kami berdua berada di United kingdom, istri saya yang datang ke Inggris dengan passport Timor-Leste, setelah mendapatkan Residence Card, istri saya diterima bekerja disebuah tempat bernama “Welcomebreak”, tempat pengistrihatan para pengemudi dan orang yang melakukan perjalanan jauh. Karena disana ada restorant dan hotel dan semua makanan. Istri saya bekerja disana selama delapan bulan.
Setelah saya berhasil dalam mengikuti test baik secara lisan maupun tulisan sekitar bulan Juli, saya mulai dipekerjakan di pabrik mobil BMW Mini tersebut. Dan saya harus tinggalkan pekerjaan 6.00. pounds per jam karena di pabrik BMW saya memperoleh 11.80. pounds per jam. Dengan pekerjaan itu, satu tahun kemudian pada Mei 2008 kami mulai berencana untuk kembali ke Timor-Leste untuk menjemput ketiga anak-anak kami yang waktu itu ketiganya dalam keadaan sakit terutama anak kedua kami yang cacat. Ketika kami sampai di Dili kami dijemput oleh anak-anak kami pertama kali melihat anak-anak dengan kondisi kurus kering terutama anak kami yang cacat. Setelah tiga tahun saya meninggalkan mereka sendiri, satu tahun bersama istri, sehingga tiga tahun mereka hidup bersama kedua orang tua kami. Di Dili kami membawa anak-anak kami berobat di sebuah klinic milik Dokter Virna Martins Gusmao, saya merasakan suatu kehidupan yang sangat mahal di Timor-Leste. Ketika itu kami menghabiskan uang sekitar $350 dolar dalam seminggu. Sebagai pekerja Buruh di Inggris tidak ada beban akan tetapi bagaimana dengan para pekerja Buruh di Timor-Leste.
Ketika tiba di Dili, saya bertemu dengan Helder Lopez dan beberapa anggota PST, dan waktu itu telah beredar isu-isu bahwa akan ada PST Mudansa. Ketika itu saya berbicara dengan Helder Lopez setelah mendengar semuanya saya mengatakan kepada Helder Lopez bahwa;
“sekarang adalah saatnya, jika ingin memperbaiki kehidupan dan belajar melalui satu kementerian, katakan kepada semua teman-teman tetap bersatu dan pertahankan persatuan dalam partai, karena ketika kita tidak diberi akses dan kita tidak kesempatan untuk tampil kita selalu bersama dan Kalau sekarang kita diberi kesempatan dan pemimpin kita akan terus muncul dihadapan rakyat. Ini adalah saatnya kita harus tetap bersatu”. Setelah bertemu Helder Lopez saya bersama istri diundang oleh Shalar Kossi sebagai Sekretaris Negara urusan Politik Energi untuk pergi ke Distrito Same dalam perayaan 20 Mei 2008 untuk memberikan perhargaan kepada para Veteran Resistensi. Di penginapan Manufahi selain berbicara tentang politik terutama bagaimana membangun kembali dari basis kami juga berbicara tentang energy salah satunya adalah menggunakan tenaga matahari(panel Solar) seperti yang digunakan oleh Negara China, dimana di salah satu Distric di China menggunakan tenaga matahari untuk penerangan kota.
Dua minggu berada di Timor-Leste kami kembali ke Inggris bersama ketiga anak-anak dan istri. Kami tiba di Inggris menjelang musim panas. Anak perempuan pertama saya telah berusia 6 tahun . Ketika itu saya harus mengajarkan anak pertama saya untuk berbicara bahasa Inggris agar dapat menjawab pertanyaan para guru di sekolah. Setelah satu bulan berada di Oxford, anak perempuan saya mulai melanjutkan sekolah dasar di Primary Oxford School. Dan anak saya yang ketiga harus menunggu sampai bulan September.
Ketika anak-anak saya mulai hidup di Eropa, di Eropa telah terjadi krisis ekonomi yang mengakibatkan terjadinya pengurangan pekerja pada setiap pabrik terutama pabrik-pabrik mobil(Manufactory Car Production). Ditempat dimana saya bekerja sekitar seribu orang kehilangan pekerjaan. Waktu itu kami 100 orang pekerja dari agency yang belum mendapatkan kontrak kerja permanent dipertahankan karena memiliki kelakuan yang baik dan dedikasi yang baik dalam pekerjaan, karena hanya 100 orang agency yang dipertahankan kami terpaksa harus menutupi semua tempat yang kosong agar dapat memperlancar pekerjaan. Kami dipekerjakan sesuai dengan shift dan jam bekerja yang ada secara normal 12 jam per hari dalam dua minggu 6 hari, 6 malam setelah itu 6 malam dan 6 hari. Dengan pekerjaan yang non-stop itu, keadaan anak kedua saya yang cacat itu lagi dalam keadaan sakit, saya harus membantu istri saya untuk menggendong anak kami yang cacat tersebut. Kadang-kadang pada malam hari saya hanya beristirahat 4 atau 5 jam. Pagi hari saya harus berangkat kerja, dengan keadaan saya waktu itu yang peduli dengan rasa sakit dibagian dada saya akibat penyiksaan yang terjadi 12 tahun yang lalu, ketika saya ditangkap oleh militer Indonesia.
Menghadapi keadaan tersebut pada suatu ketika di sore hari ketika pulang kerja saya merasa kesakitan di dada saya yang membuat pernafasan saya seperti seorang asmatic, waktu itu saya tidak bisa bernapas dengan normal. Istri saya meminta bantuan kepada para teman-teman saya untuk mengontak ambulansi. Ketika ambulansi datang dengan team medis melakukan pemeriksaan para team medis menganjur kepada saya untuk dibawah ke rumah sakit karena dari hasil pemeriksaan darah yang dilakukan tidak normal perlu dibawah ke rumah sakit. Untuk memperlancar pernapasan dan membantu kondisi yang lemah saya diberi infuse dan menggunakan oxygen dalam perjalanan menuju rumah sakit.