Total Pageviews
Translate
Friday, December 28, 2012
Tentang Tama laka Aquita Nofi 4
Penyerangan terhadap Gereja Motael, 28/10/1991 dan Massacre 12/11/1991
Hari terus berlalu tahun terus berganti semangat juang kami anak-anak muda Timor-leste kian membara dan gerakan klandistin semakin meluas, segala kegiatan saat itu diarahkan menuju aksi demonstrasi yang berskala besar menuntut self-determination-Referendum bagi proses penyelesaian masalah Timor-Leste. Anak-anak muda Timor Leste tidak lagi sabar untuk menunggu hari hari yang akan datang untuk melakukan aksi menentang pendudukan militer Indonesia. Isu-isu kedatangan Parlemen Portugis semakin meluas di seluruh penjuru Timor-Leste, generasi muda mulai ikut aktif mendirikan basis-basis organisasi-organisasi pemuda untuk ikut mempersiapkan dan mensosialisasikan aksi bersama dengan dua organisasi pemuda yaitu FITUN dan OJECTIL.
Pada tahun 1990, Ketika itu saya baru berumur 14 tahun, bersama beberapa kawan-kawan yang lain seperti Apeu kuluhun (Matebian), Anus Moko, Luis Mutin, Karlito Breok (Quintal Boot) Andre REBAL, Nando Same-Manufahi, Justino (Saudoso yang tewas dalam pembantaian(12/11/91), Amauco dan kawan-kawan yang lain kami mengkoordinir sebuah aksi “sumpah massal” di sebuah rumah yang berada disebelah rumahnya Luis Mutin untuk mengadakan sumpah terhadap kawan-kawan yang ikut bergabung dalam organisasi OPJELATIL dibawah bendera nasional. Acara tersebut kami lakukan melalui sebuah acara pesta yang dikoordinir oleh jaringan klandestin yang telah terbentuk agar dapat mengorganisir seluruh kekuatan untuk ikut terlibat secara aktif bersama OJECTIL, guna mengkordinasikan segala kegiatan pemuda menuju aksi masa bersama menyambut kedatangan Parlemen Portugis tersebut. Namun kunjungan tersebut tidak pernah datang. Dan gerakan yang meluas tercium oleh ABRI dan SGI dan mereka menggunakan segala cara untuk menyerang dan menangkap kawan-kawan yang telah teridentifikasi oleh ABRI/SGI seperti kawan-kawan yang bersembunyi di Gereja Motael.
Pada tahun 1991 ketika itu usia saya telah memasuki 15 tahun, Empat belas hari sebelum pembantaian di Santa Cruz, saya bersama beberapa kawan-kawan seperti Simplicio, Profiro, Agustino Maulaku, Remigio(Saudoso) Oscar Goncalvez Marcio Goncalvez dan Janio Lobato bertemu dengan kawan Jose Da Costa alias Mau Hudu dan Jose Manuel Fernandez alias Nakfilak di Fatuhada-rumahnya Maun Alarico, tempat persembunyian mereka.
Namun dalam persiapan menanti kedatangan kunjungan parlemen Portugal tersebut terjadi penyerangan terhadap gereja Motael. Penyerangan tersebut menyebabkan tewasnya seorang teman bernama Sebastiao da Costa yang juga bersembunyi di gereja Motael, penyerangan itu terjadi ketika kaum muda Timor Leste sedang berkonsentrasi dalam mempersiapkan diri untuk menggelar aksi demonstrasi. Penyerangan tersebut membangkitkan amarah seluruh kaum muda di Timor-Leste dan semangat juang kaum muda kian membara. Kami tidak berpikir tentang apa yang akan terjadi terhadap masa depan kami. Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun kami terus berteriak;
PATRIA OU MORTE RESISTIR E VENCER!! Berjuang sampai titik darah penghabisan! Tanah Air atau Mati!
Dari kasus penyerangan terhadap Gereja tersebut kami mengorganisir seluruh kekuatan kaum muda untuk bersatu dan mempersiapkan diri menggelar aksi damai dengan mengiringi mayat kawan kami Sebastiao da Costa dari Gereja Motael menuju Kuburan Santa Cruz.
Setelah prosesi pemakaman kawan Sebastiao Da Costa, kami terus meningkatkan dan melakukan persiapan-persiapan untuk menghadapi demonstrasi yang berskala besar dan merencanakan keterlibatan seluruh pemuda dan pelajar Timor-Leste tanpa memandang warna partai politik.
Penaburan bunga berubah menjadi pembantaian berdarah 12 November 1991. Aksi demonstrasi damai untuk mengiringi penaburan bunga di pemakaman sebastiao Da Costa di Santa Cruz, adalah merupakan puncak dari kebangkitan rasa persatuan nasional antara Generasi muda bersatu dalam longmarch dari gereja motael, 14 hari setelah kematian Sebastiao da Costa ke Cimiteiro Santa Cruz. Long march dari gereja menuju cimiteiro santa cruz, ketika itu saya bersama salah seorang teman yang bernama Ramiro alias Mito Bobonaro membawa spanduk yang bergambar Comandante Kay Rala Xanana Gusmao dengan bertuliskan “Convergencia Nacional dan Unidade Nacional”. Dalam perjalanan menuju Santa Cruz ada beberapa kejadian yang terjadi akibat dari inflitrasi dari para orang-orang Timor-Leste yang bekerjasama dengan para intelegen TNI, namun inflitrasi tersebut tidak berhasil menghentikan perjalanan kami menuju Santa Cruz. Setelah tiba di Santa Cruz, beberapa saat kemudian kami sedang berkumpul didepan cemiteiro untuk mengorganisir semua kawan-kawan merapat ke pintu gerbang cemiteiro untuk melakukan aksi damai yang tertib sebelum menuju ke kapela dan kuburan Sebastiao da Costa. Namun beberapa menit kemudian tepat pada pukul 08.15. kami melihat pasukan tentara Indonesia yang sedang berlari pagi dari arah jembatan My Friend menuju ke arah kami.
Ada teman kami yang sempat berkata;
“mereka tidak akan menembak kita karena invasi telah terjadi pada 7 Desember 1975, pembantaian telah berlalu sekarang saatnya kita menuntut keadilan akan kebenaran dan kebebasan kita, menuju selft determination”.
Tidak ada tembakan peringatan. Beberapa menit kemudian para tentara yang sedang berlari pagi dengan senjata laras panjang dan bertelanjang dada itu melepaskan tembakan kearah kami. Ketika itu para pemuda telah bertekad dan siap untuk menghadapi segala resiko yang akan datang sekalipun dengan taruhan nyawa. Lebih baik mati sebagai anak bangsa maubere daripada mati sebagai penghianat bangsa maubere.
Dengan Semangat akan kemerdekaan dan cinta akan tanah air dan bangsa Maubere kami pun tidak peduli dengan kematian yang sedang menanti tidak seorang pun dari kami yang lari ketika para tentara nasional Indonesia yang sedang menuju kearah kami, tidak ada tembakan peringatan para tentara nasional Indonesia melepaskan tembakan kearah kami. Dengan itu saya melihat teman-teman yang berdiri diatas tembok-gerbang pintu berjatuhan dan kami yang berada dibawah berlari melompati mayat-mayat teman-teman yang berjatuhan dari atas gerbang pintu maupun yang berada didepan.
Setelah massacre 12 November 1991, situasi dan kondisi politik di Timor Leste berubah baik ditingkat perjuangan diplomasi maupun didalam negeri (Indonesia saat itu) karena yang dibantai, yang dibunuh, ditangkap dan yang dihilangkan secara hidup-hidup bukanlah hanya anak-anak dari FRETILIN, akan tetapi seluruh anak-anak rakyat Timor-leste. Dengan darah, air mata dan nyawa para pemuda generasi baru telah membawa dan memperkokoh persatuan nasional dalam pergerakan kemerdekaan. Bandera Nasional, dan bendera UDT berjatuhan dari atas tembok kuburan santa cruz menutupi darah yang mengalir dari mayat-mayat generasi muda bangsa Maubere, dari pembantaian atas generasi muda di santa cruz Bandera persatuan nasional dikibarkan diatas kematian generasi muda, darah dan air mata ibu pertiwa.
Waktu itu kami para pemuda bersatu. Bersatu dalam satu aksi dan menyatukan semua pikiran kami dan sikap politik serta segala tindakan kami diarahkan menuju pembebasan bangsa. Dari pemikiran yang sempit Anti Indonesia sampai ketingkat kesadaran yang tinggi anti Regim Militer Militer Indonesia. Kedewasaan kami para generasi muda ditentukan oleh perkembangan dalam perjuangan kemerdekaan. Kami bersatu dengan keberanian, demi keadilan, demi kebebasan adalah merupakan tali persatuan nasional, keberanian kami serta kematian kawan-kawan kami adalah merupakan pengikat persatuan bangsa Maubere dan juga merupakan jalan menuju persatuan nasional dalam perjuangan kemerdekan bangsa Maubere. Ketika itu setiap sikap dan tindakan kami untuk mempertaruhkan kematian kami demi memenangkan kehidupan, kebebasan dan kemerdekaan rakyat Maubere.
Aksi 12 November 1991 adalah merupakan sebuah komitmen bersama gemerasi muda saat itu untuk mewujudkan persatuan nasional seluruh rakyat Timor-Leste. Keterlibatan para pemuda dalam aksi merupakan tuntutan murni hati nurani para generasi muda dengan mengikuti kunjuntur politik internasional dan nasional Timor-Leste menuju penyelesaian persoalan perang yang berkepanjangan.
Dengan pembantaian 12 November 1991 membuka kembali mata dunia akan kebohongan Regim Militer Indonesia yang selama itu membungkus pelangaraan hak asasi manusia di Timor-Leste. Pembantaian tersebut mengankat kembali persoalan penyelesaian Timor-Leste kearah penyelesaian yang adil melalui suatu proses yang adil melalui referendum.
12 November 1991
Hari terus berlalu tahun terus berganti, kematian Sebatiao da Da Costa pada 28 october 1991 dan pembantaian Santa Cruz 12 November 1991 telah menyatukan pemikiran kami untuk bersatu. Bersatu dalam aksi menuju penentuan nasib sendiri. 12 November 1991 memberikan kami semangat juang untuk terus berjuang. Kami tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh mereka (para tentara nasional Indonesia), setiap hari setelah pembantaian 12/11/91, diseluruh kota Dili para tentara berolahraga pagi dengan berteriak;
“Bikin Lagi Tembak Lagi”
artinya jika berani turun ke jalan untuk berdemonstrasi atau melakukan protes terhadap Integrasi akan ditembak ditempat.
Kami tidak peduli dengan ancaman mereka setiap kunjungan utusan dari UN dan para delagasi dari Vatikan yang berkunjung ke Dili kami mengunakan kesempatan kunjungan tersebut untuk terus melakukan protes dan berteriak;
“VIVA TIMOR LESTE!! PATRIA OU MORTE!!!”
Dari setiap kunjungan utusan UN selalu menyaksikan pemuda berdemonstrasi dalam setiap aksi penangkapan dan penyiksaan merupakan bagian kehidupan para pemuda di Timor-Leste. Dengan kesadaran generasi muda yang semakin meningkat akan perjuangan kemerdekaan regim militer Indonesia terus meningkatkan penempatan tentara di setiap desa dan kampong yang dikenal dengan Pos BTT untuk mempersempit ruang gerak para pemuda. Selain penempatan Pos BTT juga meningkatkan opersai inteleden ABRI, namun segala tindakan yang dilakukan tidak dapat menghentikan gerakan klandistin yang semakin meluas. Semakin ABRI dan TNI meningkat operasi mereka gerakan klandistin semakin solid dan rakyat mulai muak dengan kehadiran Pos BTT di setiap desa-desa.
Pembantaian 12 November 1991
Setelah 12 November 1991, gerakan klandestin terus ditingkatkan kebanyakan dari kawan-kawan yang masih dalam pengaejaran oleh SGI (Satuan Gabungan Intelegen) seperti Afonso Maria, Profirio(Afirio), Juliao Mausiri dan kawan-kawan yang lain. Para satuan gabungan intelegen indonesia terus meningkatkan pengejaran terhadap para pemimpin gerakan klandistin sampai akhirnya berhasil menangkap Panglima Tertinggi FALINTIL Kay Rala Xanana Gusmao pada bulan november 1992 di Dili.
Setelah penangkapan Panglima tertinggi FALINTIL, bersama Mateus Brito Ximenes dan Oscar Goncalvez memasuki halaman kantor Palah Merah Internasional untuk meminta perlindungan terhadap diri kami dan teman yang masih bersembunyi. Tujuan kami datang ke ICRC pada malam hari untuk meminta perlindungan, namun mereka tidak dapat memberikan perlindungan. Waktu itu bersama beberapa teman kami bersembunyi di dirumahnya Pai Co (Jacob Fernandes, waktu itu sebagai kepala Desa Santa Cruz). Anaknya Pai Co juga waktu itu tertembak dalam pembantaian Santa Cruz namun tidak diketahui oleh para TNI dan Intelegen yang selalu datang kerumah kepala desa itu. Saya tinggal bersama keluarga Pai Co, dan kami dianggap sebagai keponakan kepala desa tersebut. Beberapa bulan tinggal di rumah Pai Co, saya memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Ermera-Gleno. Dan saya pun pergi ke Ermera untuk melanjutkan sekolah di Gleno.
Selama tinggal bersama teman atau bersembunyi di rumah Pai Co, saya mulai belajar banyak dari seorang kepala Desa tentang bagaimana menyelesaikan, memahami kehidupan rakyat dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat.
Bertemu dengan Comandante Ernesto Fernadez alias Dudu
Memasuki usia yang ke 16 tahun pada pertengahan tahun 1992, saya meneruskan sekolah di Ermera bersama kawan-kawan yang lain di SMA 17 Juli Gleno. Waktu itu mantan gerilywan Ernesto Fernadez alias Dudu telah melarikan diri kembali ke hutan bersama anak buahnya termasuk kedua adiknya Vasco Fernandez, Venancio Fernandez dan Jacob Fernandez. Mereka (Comandante Dudu cs) meningalkan kota Ermera sebelum Massacre 12/11/1991.
Di Ermera-Gleno saya mulai membuka kontak dengan Comandante Ernesto melalui salah seorang petugas penjaga kantor pertanian bernama Jose de Jesus. Bersama kawan Jose de Jesus, saya dan seorang kawan dekat saya bernama Ardo (Hermingardo Albano da Costa), kami berjalan dari Gleno menuju kecamatan Hatolia, di Hatolia kami bertemu adik bungsunya Comandante Ernesto bernama Jacob. Dari Hatolia kami harus berjalan 30 menit menuju tempat persembunyian sekelompok kecil pasukan FALINTIL yang dipimpin oleh Comandante Ernesto Fernandez alias DUDU. Dari Hatolia setelah mengadakan kontak dengan Comandante Ernesto saya bersama Ardo kembali ke Gleno melintasi pegunungan Hatolia bersama Vasco Fernandes kakak kandungnya Comandante Ernesto Fernandez.
Sesampainya di sebuah desa yang sebelum memasuk Vila Maria di belakang pegunungan Mertutu, kami berpisah dengan para FALINTIL tersebut. Saya bersama kawan Ardo dan seorang estafeta bernama Sico Metan berjalan menuju Vila Maria Mertutu, namun ditengah jalan kami merasa haus dan lapar karena kami kehabisan makanan yang kami bawa, kawan Ardo yang waktu itu masih merasakan kesakitan pada bekas luka di bagian belakangnya akibat peluru TNI pada pembantaian Santa Cruz 12/11/91 mengatakan pada saya
‘Akita saya lapar dan merasa sakit di bagian belakang bekas luka saya’.
Saya menyuruh stafeta kawan Sico metan pergi duluan untuk mencari apa saja yang didapatkan di kampung untuk membeli makanan atau apa saja agar kami dapat makan. Namun karena kami haus ketika sampai di sebuah tikungan jalan ada sebuah sungai kecil yang telah dipasang sebatang bamboo oleh masyarakat setempat agar dapat mengambil air bersih. Kami berhenti sejenak. Kawan Sico Metan mengambil daun Ai Ruu dikin dipoles-poles dengan garam dan diberikan kepada kami untuk makan. Setelah itu kawan Sico Metan pergi duluan untuk mencari makanan. Beberapa jam kemudian kawan Sico Metan kembali dengan Pao Maran dan Sumengal. Pao maran seribu rupiah dan sumengal satu bungkus kecil, Ardo menghabiskan pao maran dan sumengal dengan minum air yang mengalir dari pegunungan tersebut.
Kembali ke Gleno kami mulai mengorganisir kawan-kawan yang tinggal bersama saya di Asrama di mana saya tinggal bersama kawan-kawan yang lain (Asrama Bugasa Gleno). Kami memberikan sumbangan kami berupa obatan-obatan, pakain militer, rokok dan segala keperluan yang dibutuhkan oleh gerilyawan sesuai dengan kemampuan kami untuk mendapatkannya.
Setelah beberapa bulan berhubungan dengan gerilyawan FALINTIL pimpinan comandante Ernesto Fernandez, pada suatu hari ketika situasi di Dili mulai memanas saya memutuskan untuk bergabung dengan FALINTIL bersama comandante Ernesto namun waktu itu beberapa kawan-kawan saya telah melarikan diri berangkat ke pulau Jawa Indonesia, 7 diantara mereka telah berhasil memasuki dua kedutaan Negara asing di Jakarta (Finlandia dan Swedia) untuk meminta suaka politik, mereka adalah Profirio, Jose Sousa, Florencio, Atino Breok, Oscar Goncalvez, Ventura Lospalos dan Mateus Brito Ximenis..
Setelah mendengar berita tentang ketujuh pemuda meminta suaka politik, saya harus memilih, bertahan dihutan menjadi anggota pasukan reguler FALINTIL atau berangkat ke jawa untuk meminta suaka politik. Namun waktu itu saya memutuskan untuk berangkat ke Jawa-Indonesia.
Waktu itu nama saya sudah tercium oleh aparat keamanan ABRI-SGI. Tujuan utama adalah mencari suaka politik untuk meningkatkan tekanan di tingkat perjuangan diplomatik. Akan tetapi setelah tiba di Jakarta saya memilih untuk bertahan dan berjuang di Indonesia bersama teman teman yang lain.
Dari Dili menuju Malang dan Jakarta
Pertengahan tahun 1993 pada tangal 9 Juli saya bersama beberapa kawan-kawan berangkat ke Jawa-Indonesia dengan Kapal Tatamailau menuju Surabaya-Jawa-Indonesia. Setiba di Surabaya, kami menuju ke Kota Malang disana kami diterima oleh kawan-kawan yang pernah bersama-sama terlibat dalam aksi demonstrasi 12/11/91. Kawan – kawan tersebut berada disana untuk melanjutkan pendidikan mereka.
Tiga bulan berada di Kota Malang Jawa Timur. Waktu itu di Indonesia para Mahasiswa Timor-Leste terbagi menjadi dua kelompok yaitu RENETIL(Resistencia Nasional Estudante Timor-Leste) dan AST(Asosiasi Sosialist Timor). Waktu itu kami tinggal di sebuah kontrakan bersama Anacleto Bento bersama beberapa mahasiswa yang menyatakan diri mereka adalah Independen dan tidak tergabung atau anggota dari salah satu organisasi tersebut. Kebanyakan dari mereka adalah kawan-kawan lama dari aksi Demonstrasi 12/11/91. Di Malang kami mulai mendengar rumor tentang dana bantuan untuk menbantu para korban 12/11/91.
Pada suatu hari kami diundang untuk bertemu salah seorang kawan bernama Antonio Maher Lopez, kawan tersebut datang dari Jakarta. Menurut para mahasiswa yang beranggota RENETIL, bahwa kawan Antonio Maher Lopez adalah sebagai salah satu dari penanggungjawab bagi semua dana bantuan tersebut. Waktu itu kami hanya menerima dan mendengar rumor-rumor bahwa di Jakarta, kawan Martinho Pereira adalah orang yang bertanggungjawab atas semua bantuan tersebut dan membantu kawan-kawan yang lain termasuk ketujuh kawan-kawan yang telah meminta suaka politik pertama pada kedutaan Swedia dan Finland setelah 12/11/91 pada tahun 1993.
Pertemuan tersebut berlangsung di Kota Malang. Kawan Antonio Maher Lopez menjelaskan semua tentang isu-isu mengenai dana bantuan kepada para korban 12/11/91, namun waktu itu kami semua para mantan 12/11/91 terutama saya sangat emosional menghadapi pertemuan tersebut. Secara emosional saya mengeluarkan kata-kata yang bernada keras terhadap kawan Antonio maher Lopez dengan berteriak;
“Kalian Jangan menggunakan pengorbanan kami untuk kepentingan kalian, karena kami telah kehilangan semuanya”.
Waktu itu saya baru berumur 17 tahun. Dari pertemuan tersebut saya mulai mengenal kawan Antonio Maher Lopez dan kawan-kawan anggota RENETIL yang lain. Dari penjelasan kawan Antonio Maher Lopez dan reaksi kawan RENETIL yang hadir dalam pertemuan waktu itu menunjukkan ada pertentangan antara RENETIL dan kawan-kawan AST yang ada di Jakarta .
Setelah hampir empat bulan bersama kawan-kawan di Malang, saya dikunjungi oleh Profirio, Oscar dan Florencio di Malang sebelum mereka berangkat ke Portugal. Setelah kunjungan mereka dan setelah mereka berangkat ke Portugal saya memutuskan untuk berangkat ke Jakarta dengan alamat yang diberikan oleh seorang kawan. Alamat tersebut adalah Jln. Bangka Gg II no 234 yang merupakan tempat persembunyian kawan-kawan yang memutuskan tidak memilih suaka politik tetapi memilih bertahan hidup di Indonesia untuk meneruskan perjuangan di Indonesia. Kawan-kawan tersebut adalah Joao Bosco Carceres, Laurindo Lourdez, Nelson Baptista dan Abuno (mereka adalah kawan-kawan lama sejak aksi Demonstrasi pertama di Dili-1987-89 sampai 12/11/91) dan kawan Abonu adalah teman dekat Pai-Zitu yang melarikan diri dari tahanan SGI Kolmera.
Dari Malang menuju Jakarta
Setelah tiba di Jakarta beberapa hari, kawan Laurindo Lourdez yang waktu itu berangkat ke Bali, kawan Bosco pergi ke Depok. Di rumah itu hanya saya bersama Nelson dan Abonu. Namun waktu itu kawan Nelson Baptista pergi ke tempat teman dan Abonu pergi ke tempat kakak perempuan nya(Mana Mada) di jalan Ciputat).
Di rumah itu hanya saya sendiri tidak ada uang untuk membeli makanan, dua hari hanya makan sebungkus super mie dan hari berikutnya saya tidak makan apa-apa dan saya hanya bertahan dan bertahan dengan minum air putih. Namun pada sore hari sekitar jam 2 sore, saya jatuh pingsang sekitar hampir satu jam, kawan Nelson Baptista yang datang melihat saya sedang duduk di lantai dengan muka yang pucat dan keringat seluruh baju saya basah dia bertanya;
Kamu sakit? Saya menjawab, saya lapar!
Kawan Nelson Baptista pergi ke warung pansit mie dan membeli dua pansit mie dan saya menghabiskan dua mangkok tersebut.
Pada suatu acara perayaan natal bersama 1993 di daerah Depok di lapangan sepakbola kampus Universitas Indonesia, saya bertemu dengan kawan Martinho Rodrigues Pereira yang waktu itu menurut kebanyakan kawan-kawan RENETIL adalah sebagai penanggungjawab bagi semua dana bantuan untuk para korban 12/11/91 yang melarikan diri ke Jawa-Indonesia. Waktu itu masih dengan rasa emosi, saya menanggapi semua persoalan yang saya hadapi saat itu. Namun akhirnya saya sadar bahwa semua yang saya dengar dan semua saya hadapi adalah bagian dari kehidupan dan pergaulan sebagai aktivis.
Dalam acara perayaan natal bersama saya bertemu dengan Avelino Da Silva Coelho(Shalar Kossi), Antonio Maher Lopez(FATUK MUTIN), Tome, Jose Reis(Partido FRETILIN), Silveiro Pinto(PDHJ),Aniku Reis (Adiknya Vicenti Reis), Egas da Costa(CPD-RDTL FRETILIN MOVIMENTO),Jose Belo(CNE) dan Martinho Pereira(Partido FRETILIN). Pertemuan Itu merupakan pertemuan pertama saya dengan nama-nama yang selama pergaulan saya dengan para mahasiswa Timor-Leste yang beranggota RENETIL selalu disebut sebagai orang-orang yang menentang Xanana Gusmao dan kaki tangan Fransisco Lopez da Cruz (Dubes Keliling Pemerintah Indonesia saat itu). Selain melakukan kampanye terhadap kepemimpinan AST dengan mengarahkan opini public bahwa AST adalah bagian dari kelompok pendukung integrasi beberapa pimpinan RENETIL juga melakukan kampanye pembodohan terhadap masyarakat awam bahwa AST adalah organisasi KOMUNIS yang tidak percaya pada tuhan.
Sangat disayangkan para para calon intelektual muda yang bernaung dibawa organisasi perjuangan mahasiswa mengikuti kampanye musuh militer Indonesia terhadap sebuah organisasi politik yang berfaham ideology Sosialis-Komunis.
Ketika itu Avelino Coelho, Pedro Martires dan Antonio Maher Lopez telah mentransformasikan FECLITIL menjadi Assosiasi Sosialis Timor (AST) dengan menyatakan diri berafiliasi dengan FRETILIN, dalam perjuangan menuju kemerdekaan.
Setelah pertemuan perayaan natal bersama tersebut kawan Tome Xavier, Joao Bosco Carceres, Laurindo Lourdez, Helder da Costa dan Aniku Reis, saya diundangan untuk mengikuti pertemuan untuk pembahasan majalah FUNU edisi berikutnya. Waktu itu mereka adalah member AST, setelah pertemuan pembahasan majalah Funu tersebut saya mengusulkan ide pembentukan grupo ONZE DOZE adalah sebuah kelompok yang terdiri dari para mantan atau sisa pembantain 12 November 91 yang masih hidup.
Ketika itu aktivitas AST di Indonesia lebih terfokus pada agitasi dan propaganda dengan menerbitkan majalah FUNU, sebuah majalah yang khusus untuk melaporkan berita tentang perjuangan Timor Leste. Saya diajak mengikuti pertemuan dengan Avelino Coelho, Antonio Lopez dan Tome Xavier bersama kawan lain untuk membahas penerbitan edisi majalah FUNU berikutnya. Dari pertemuan mengenai pembahasan penerbitan majalah FUNU tersebut saya mulai belajar dan aktif dalam kegiatan agitasi propaganda untuk mendistribusikan informasi-informasi tentang perjuangan Timor-Leste dan perjuangan AST setelah Timor Leste merdeka. Yaitu perjuangan jangka panjang untuk mewujudkan pendirian suatu masyarakat sosialis di Timor Leste.
Dari keterlibatan saya untuk mendistribusi majalah FUNU kepada para mahasiswa Timor-Leste dan mahasiswa Indonesia. Saya mulai aktif dalam agistasi propaganda AST. Bersama AST dan Shalar Kossi FF saya mulai belajar politik dengan membaca semua buku yang bertuliskan pemikiran kiri seperti buku buku karya Sultan Shyarir tentang perjuangan Sosialisme di Indonesia, karya Karl Marx, dan di Bawa Bendera Revolusi Volume I sampai Volume IV karya Persiden Pertama Repubilk Indonesia Ir. Soekarno dan petualangan Ernesto de la serna Cheguevara dalam perjuangannya membentuk masyarakat sosialis. Semua buku itu diberikan oleh Shalar Kossi (Avelino Coelho).
Beberapa minggu di Jakarta saya bertemu dengan kawan Virgilio Guteres Babe yang baru beberapa hari bebas dari penjara Cipinang dan selalu datang ketempat dimana kami tinggal. Dari Jakarta saya bersama Virgilio Guteres melakukan perjalanan menuju Yogjakarta, Solo, Semarang, Malang dan Surabaya untuk bertemu dengan semua member RENETIL. Dari perjalanan bersama Virgilio Guteres, saya mulai mengetahui tentang adanya pertentangan yang sangat tajam antara organisasi RENETIL dan AST saat itu di Indonesia. Namun waktu itu saya masih dalam posisi saya tidak berpihak pada satu kelompok. Setelah tiga hari melakukan perjalanan ke jawa kami kembali ke Jakarta.
Di Jakarta tempat dimana kami tinggal/bersembunyi, kami harus berprilaku-kehidupan kami sebagai anak-anak mahasiswa. Pagi hari kami semua harus keluar dari rumah seperti biasanya para mahasiswa yang harus berangkat ke kampus dan pulang siang hari atau sore hari. Dan setiap hari Rabu kami semua pergi ke Cipinang untuk membesuk kawan-kawan di penjara Cipinang seperti Fernando Lasama Araujo, Virgilio Guteres, Tiu Marito Reis(kakaknya Vicente Reis-SAHE), Joao da Camara dan kawan-kawan aktivis Pro-Demokrasi Indonesia.
Selain mengunjungi penjara cipinang saya selalu mengunjungi bapak Proklamator Republik Demokratik Timor-Leste, Francisco Xavier do Amaral di Cijantung Jakarta Selatang. Dari kunujungan saya setiap akhir pekan memberikan saya pengetahuan tentang perjuangan dan pertentangan yang terjadi sebelum invasi militer Indonesia bahwa yang seharusnya terjadi sampai terjadinya pertumpahan darah adalah antara anti komunista dan komunista. Ketika operasi intelegen luar negeri mulai melakukan operasi intelegen di Timor-Leste dengan isu Anti Komunista yang waktu itu ikut mempengaruhi institusi gereja katolik di Timor-Leste. menurut ceritanya Bapak Proklamator RDTL Francisco Xavier do Amaral, pernah mengunjungi uskup Dom Jose Nunes dengan tujunan untuk meminta klarifikasi kepada uskup Dom Jose Nunes untuk menunjukkan satu persatu diantara kepemimpinan ASDT/FRETILIN saat itu mana yang komunis???