Total Pageviews

Translate

Friday, December 28, 2012

Tentang Tama Laka Aquita Nofi Part 7

“Sebagai pemimpin tertinggi CNRM/CNRT dan Panglima Perang bertanggungjawab atas pembuatan BOM yang dilakukan oleh Pasukan Khusus FALINTIL Brigada Negra(BN) dibawah kendali Shalar Kossi”.
1 November1997 WAWANCARA dengan Kay Rala Xanana Gusmao Tentang keterlibatannya Dalam kasus BN
Xanana MengakuTakTerlibat
Xanana Gusmao membantah tuduhan bahwa ia berada di balik gerakan yang menempuh jalan teror. Ia setuju integrasi, asalkan TAWANYA lepas. Candanya menggelitik. Kadang dibarengi dengan bahasa tubuh yang meminta pihak yang diajak bicara memahami keadaannya. Dan impian-impiannya dari balik tembok Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta, membubung tinggi.
"Kalau sudah bebas nanti, saya ingin menjadi petani saja," kata tokoh antiintegrasi Kay Ray Xanana Gusmao, yang ditangkap pada 1992, lalu divonis 20 tahun penjara, dan baru akan bebas tahun 2012. Xanana yang kini berusia 51 tahun kembali menjadi pembicaraan hangat setelah terjadi ledakan bom di Demak, Jawa Tengah, dan terbongkarnya upaya penyelundupan 20 bom ke Timor Timur. Petugas keamanan sedang memeriksa empat tersangka di sel Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah dan dua pemuda di Polda Timor Timur. Mereka mengaku merakit bom itu dan akan meledakkannya di berbagai tempat, terutama di Timor Timur. Maka petugas keamanan menyebut aktivitas mereka sebagai gerakan teror. Masih menurut pengakuan mereka, Xanana dan Ramos Horta berada di balik gerakan itu. Ia, kata sumber itu, ikut membiayai pembuatan bom. Melalui seorang perantara yang berasal dari sebuah lembaga swadaya masyarakat terkenal, Xanana menitipkan empat amplop yang masing-masing berisi Rp 250.000. Xanana juga disebut-sebut sebagai Panglima Tertinggi Falintil, sayap militer Conselho Nacional da Resistencia Maubere (CNRM), induk organisasi gerakan Timor Leste (Timor Merdeka), yang dipimpin Ramos Horta. Xanana membawahkan Brigada Negra (Brigade Hitam), sayap "radikal" (teroris) yang bertugas melancarkan aksi teror di seluruh wilayah Indonesia.
Penyelundup bom yang tertangkap itu adalah anggota Brigada Negra. Petugas keamanan masih menyelidiki keterlibatan Xanana. Namun Menteri Kehakiman Oetojo Oesman -yang membawahkan LP- tak mempercayai kemungkinan itu. "Kecil kemungkinan Xanana terlibat dalam kasus pembuatan bom rakitan dan peledakan di Demak. Selama berada di LP Cipinang, Xanana dalam pengawasan yang ketat," kata Oetojo seusai mewisuda lulusan Akademi Ilmu Pemasyarakatan di Jakarta, 22 Oktober lalu. Tapi menurut sumber Gatra, sejumlah pemuda Timor Timor beberapa kali dengan gampang menemui Xanana di Cipinang. Entah untuk apa. Sumber lain bahkan mengatakan, setelah bermukim di LP Cipinang, Xanana lebih mudah mereka temui ketimbang ketika masih di hutan. Secara kebetulan wartawan Gatra Agus Basri dan Bakarudin dari Paron dapat mewawancarai Xanana di LP Cipinang. Wawancara berlangsung Jumat sore pekan lalu. Waktu itu ia mengenakan baju biru narapidana dan celana pendek kotak-kotak warna cokelat muda.
Petikannya:
Benarkah Anda berada di belakang pembuatan dan rencana peledakan bom itu?
Saya tak ingin menjawab. Kalau dibilang mau meledakkan Dili dan seluruh Indonesia, itu tak masuk akal. Bom-bom itu kecil (jempol tangan kanannya dijentikkan ke ujung jari kelingkingnya -Red.). Buat apa mereka bikin bom untuk meledakkan seluruh Indonesia. Saya ingin tertawa.
Kalau Anda tak ngomong, apa tak rugi?
Nggak. Saya nggak rugi. Apakah kalau saya ngomong "ya", besok lalu bebas? Dan apakah kalau saya mengatakan "tidak", lalu besok saya bebas.
Tapi Anda disebut-sebut berada di belakang semua itu?
Ya, biar. Saya nggak mau berkomentar masalah ini. Biarkan saja saya dianggap begitu (ia kemudian menunduk -Red.).
Apakah tuduhan itu benar? Saya nggak ambil pusing.
Katanya, Anda pernah memberikan empat amplop, masing-masing berisi surat dan uang. Itu berkaitan dengan pembuatan bom di Demak?
Mana barang buktinya? Bawa ke sini. Saya baca juga di koran bahwa barang buktinya memang ada. Saya juga melihat di televisi ada pimpinan ABRI yang bicara begitu. Tapi tunjukkan kepada saya. Saya mau bicara kalau pimpinan ABRI itu ke sini, dan saya didampingi pengacara saya.
Benarkah sejumlah pemuda Timor Timur sering mengunjungi Anda ke sini? Apakah menjelang ledakan bom di Demak juga ada yang datang?
Ada beberapa orang datang.
Apakah ada yang namanya Avelino Coelho atau Constantio dos Santos alias AQUITA, misalnya. Mereka disebut-sebut sebagai pembuat dan penyelundup bom?
(Diam).
Bagaimana Anda menilai gerakan anak-anak muda Timor Timur yang antiintegrasi sekarang ini?
Saya hanya bisa mengungkapkan bahwa apa yang mereka tempuh itu keliru.
Apakah gerakan bawah tanah (clandestine) pada zaman Anda berbeda dengan sekarang?
Nggak berbeda.
Brigada Negra?
Di dalam Brigada Negra itu termasuk anggota clandestine. Brigada ini memiliki divisi-divisi. Dulu Brigada Negra ada lima kompi, tapi sudah pecah dan habis. Ada juga yang menyerah kepada tentara Indonesia. Lalu pemimpinnya lari ke Belanda.
Apakah pola gerakan Brigada Negra sekarang sama dengan yang dulu?
Kalaupun ada perubahan, tidak besar. Dulu ada perencanaan tiga bulan, enam bulan, dan seterusnya.
Bagaimana perasaan Anda selama di LP Cipinang?
Ya, kadang-kadang ada yang bikin saya gembira, kadang-kadang juga nggak. Sebetulnya saya mau tetap hidup di sini sampai mati.
Anda dihormati sesama narapidana di sini?
Ya, semuanya pada baik-baik sama saya.
Sering mendapat kiriman makanan dari luar?
Ada juga.
Kabarnya, Anda meminta dipindahkan ke Nusakambangan?
Itu kalau tingkah laku saya selama di sini ada yang dianggap salah, saya bersedia saja dipindahkan ke Nusakambangan. Buat saya, di Cipinang atau di Nusakambangan sama saja. Supaya tak menyulitkan petugas LP, dan supaya tak dipolemikkan. Nanti kalau di Nusakambangan, tak ada yang datang, tapi ada juga berita dari Xanana-Xanana lain lagi.
Anda pernah mendapat remisi, kan?
Dulu remisi lima bulan, tapi dicabut karena saya membuat surat ke luar. Sekarang mendapat remisi lagi dua bulan dan tiga bulan.
Apakah baru-baru ini Anda membuat surat lagi?
(Diam).
Sehari-hari apa yang Anda lakukan di sini?
Waduh, nggak ada. Sebagai seorang narapidana, saya membantu apa saja yang saya bisa.
Usia Anda telah 51 tahun, tapi tampak awet muda. Apa sih rahasianya?
Resepnya, ya hari-hari ini masih cerah. Saya juga biasa minum jamu yang diiklankan di televisi. Tiap malam saya menonton TV bersama.
Bagaimana Anda menyalurkan kebutuhan biologis di sini?
Yang penting tujuannya, ya secara alamiah saja, ha, ha, ha.
Menurut Anda, langkah apa yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan masalah Timor Timur?
Harus melalui norma-norma demokrasi. Semua suara harus didengar.
Jadi, sebetulnya Anda setuju integrasi?
Saya setuju, asalkan berdasar norma-norma itu.
Paulo Rodrigues dan Constancio Dos Santos alias AQUITA
Ketika kapal KM Tatamailau mulai mendekati pelabuhan Dili, sebuah kapal patroli polisi menjemput KM Tatamalau ditengah laut. Waktu itu saya melihat dari jauh situasi di pelabuhan Dili tidak seperti biasa ketika kapal Dobon Solo atau Tatamailau bersandar. Ketika kapal KM Tatamailau mulai mendekati pelabuhan saya sempat berkata kepada teman saya Paulo Rodrigues(Ajo) demikian;
“ Ajo, saya merasa tidak tenang seperti biasanya ketika saya datang dengan kapal ini, coba tengok kebelakang sepertinya ada seseorang yang sedang memperhatikan kita”. Ketika kapal bersandar dan menurunkan tangga kecil para polisi Brimob (Gegana) dan para SGI mulai bergerak keatas kapal tersebut dan saya berkata kepada teman saya; “Ajo, jika ini adalah saatnya maka saya akan ditangkap. Tapi jika tidak maka saya akan berhasil”
Saya berkata kepada ajo sekarang saya akan bantu membawa tas kamu sampai keluar. Membawa tas yang berisi Bom dengan membantu teman tersebut, Kami sempat lolos dari kapal menuju ke arah Taxi yang sedang mencari penumpang. Namun seorang anggota Polisi dari polres Dili sedang mengikuti kami dari pintu pertama yang diblokade oleh para Polisi dan Tentara. Ketika saya sedang mencoba untuk memanggil Taxi dan sedang berbicara dengan taxi tersebut datanglah polisi dengan pakaian preman tersebut menghampiri saya dan berkata;
”Apakah anda yang namanya Aquita?”
Saya menjawab dengan tenang, nama saya Constancio!!!
Sopir taxi tersebut melihat keadaan dimana beberapa polisi berpakaian preman mulai menyergap saya bersama teman saya, sopir tersebut langsung tancap gasnya. Dan saya dengan Ajo diajak oleh polisi tersebut ke pos polisi yang berada di pelabuhan tersebut. Di dalam pos polisi tersebut saya berkata kepada teman saya;
“Ajo, kita sudah ditangkap”.
Setelah beberapa jam kemudian datanglah para Intelegen. Komandan Intelegen dari SGI (Satuan Gabungan Intelegen) bertanya pada kami berdua;
“Diantara kalian berdua siapa yang nama Aquita?”
Saya masih menjawab kami tidak kenal. Lalu saya memberikan KTP kami yang tercantum nama baptis bukan nama panggilan. Barang-barang/tas saya belum digeledah/dibuka oleh mereka para Intel. Beberapa menit kemudian saya masih bertanya kepada para polisi dan SGI tersebut dengan berkata;
“Pak kalau sudah selesai boleh kami pulang?”
Polisi berpakaian preman yang menangkap kami selalu berdiri disebelah saya dan berkata; “Oh tunggu dulu setelah komandan saya datang baru kalian pergi”
Menungu beberapa menit kemudian datanglah para Polisi BRIMOB Gegana dengan alat penjinakkan BOM. Ketika mereka para pasukan Gegana tersebut masuk dalam pos tersebut alat-alat penjinakkan BOM tersebut mendeteksi tas yang saya bawa dan Komandan SGI tersebut langsung berkata;
“Sekali lagi saya bertanya siapa yang namanya Aquita?
Kami tidak menjawab. Lalu komandan tersebut memberikan perintah kepada para Gegana tersebut geledah tas kami. Ketika mereka membuka kantong tas saya mereka menemukan sebuah Handphone(HP) dan beberapa photo bersama Ramos Horta di Portugal. Lalu komandan SGI tersebut langsung berkata kepada saya;
“Kamu yang namanya AQUITA”
Dan saya menjawab “Ya”.
Lalu komandan SGI berkata;
“Borgol mereka” lalu kami diborgol.
Beberapa jam kemudian datanglah seorang perwira tinggi dengan pangkat jenderal berwajah seperti orang China dan berkata kepada kami;
“Kalian itu Teroris yang ingin menghancurkan dan membunuh rakyatmu sendiri”. “Dasar GPK-FRETILIN KOMUNIS”
Setelah saya memperhatikan namanya yang disebelah dada diatas kantongnya baru saya tahu bahwa itu adalah Prabowo Subiyanto.
Setelah mereka para BRIMOB Gegana tersebut selesai menjinakan BOM yang aktif siap dipasang tersebut, para polisi dari polres Dili lekas-lekas membawa mobil tahanan untuk membawa kami ke polres Dili. Karena kesatuan mereka yang menangkap kami. Lalu kami dibawa keluar dari pos tersebut menuju ke mobil tahanan tersebut, didalam mobil tahanan saya berbisik kepada teman saya katakan kepada mereka bahwa;
“Kita baru saling kenal dalam perjalanan menuju Dili”.
Dan kami pun dibawa ke Polres Dili. Di Polres Dili saya dinterogasi terpisah oleh seorang polisi diruangan yang dijaga ketat para polisi BRIMOB dan para SGI. Polisi waktu itu melakukan proses pemeriksaan normal sesuai dengan apa yang menurut mereka adalah merupakan tindak pidana kejahatan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan Hukum Indonesia yang berlaku di Timor Leste saat itu.
Pemeriksaan yang mulai dari jam 10 pagi sampai tengah malam dengan tangan diborgol kebelakang dengan kursi. Datanglah seorang komandan SGI, orang Batak dengan pakaian bertuliskan “KOMANDO” dan mengambilalih pemeriksaan dengan cara mereka agar saya dapat membuka semua jaringan Clandistin di Dili, Bali dan Jakarta. Komandan SGI itu datang dengan sebuah kabel listrik dan Alkati dengan berkata;
“Sekarang kamu pilih yang mana antara alkati, kabel listrik yang siap untuk disetrum atau memberitahukan siapa yang akan menjemput kamu dipelabuhan”
Saya hanya diam.
Lalu komandan SGI itu membuka borgol saya dan memberikan sebuah buku Telkom yang tebal dan besar menyuruh saya berdiri tegak dengan memegang buku tersebut di dada saya lalu komandan tersebut mengeluarkan sebuah pukulan kearah dada saya dan saya langsung jatuh kebelakang.
Setelah itu dilanjutkan dengan pemeriksaan dengan menanyakan nama para orang-orang yang dianggap sebagai pemimpin klandestin di Dili seperti Kawan NAKFILAK(Jose Manuel Fernandez), Manu Date(David Dias Ximenis) serta Ma’hudu(Jose Da Costa) dan saya menjawab dengan mengatakan bahwa saya tidak kenal mereka.
Dengan menjawab tidak kenal dan tidak ada hubungan dengan mereka, saya dipaksa untuk makan menelan Bendera FRETILIN dan Bendera Nasional Timor-Leste dibuat dari kain berukuran 3X4 dan memaksa saya untuk menjawab semua pertanyaan mereka dengan satu pertanyaan dengan satu pukulan, satu pertanyaan dengan satu tendangan.
Seorang Kapten polisi yang duduk dibelakang saya, dengan menggunakan cincin dijarinya memukul-mukul kepala saya dan bagian tubuh. Dibelakang saya seorang kapten polisi yang duduk dibelakang saya dengan menikmati rokok Djie Sam Soe dengan kopi panas malam itu dan berbisik-bisik di telinga saya;
“Kamu lihat apa yang ada dijari saya dan rokok apa yang ada ditangan saya?”
Itu adalah rokok Djie Sam soe pak, jawab saya!
Kapten tersebut menggunakan rokoknya membakar tangan saya yang diborgol ke belakang dengan kursi. Ketika sang kapten polisi mematikan rokok ditangan saya, lalu saya berkata kepada kapten polisi tersebut dihadapan para anggota kopralnya berdiri dan menyaksikan kejadian itu.
Dengan nada yang tenang saya berkata;
“Saya tidak pernah ditangkap oleh Polisi dan TNI selama keterlibatan saya dalam pergerakan kami melawan aneksasi/pendudukan illegal atas bangsa kami. Namun saya selalu mendengar cerita dari teman-teman seperjuangan saya bahwa ketika kamu dinterogasi dengan para perwira atau komandan atau kapten mereka akan berbicara sesuai dengan pangkat mereka. Namun malam ini saya berhadapan dengan para perwira dan para kapten yang memiliki pangkat di bahu mereka, namun mereka tidak berbicara sesuai pangkat mereka yang sangat dekat dengan otak mereka tapi mereka berbicara dengan menggunakan lutut mereka yang sangat jauh dari otak mereka”.
Mendengar kata-kata saya itu, komandan SGI yang sedang berdiri disebelah saya langsung mengeluarkan tendangan dibagian dada saya dalam posisi duduk dengan tangan diborgol dan langsung jatuh kebelakang. Lalu disuruh berdiri dengan kursi yang dengan kursi tersebut dan melanjutkan pemeriksaan, dan setiap pertanyaan yang diajukan kepada saya selalu menjawab dengan menunjuk pada Shalar Kossi dan Komandan kami, Panglima Tertinggi FALINTIL, karena dia berada dipenjara Cipinang, dan saya hanya menjalankan tugas saya sebagai komandan operasional. Lalu komandan SGI itu berteriak kemuka saya;
“Kamu ditanya sekali jawabnya Shalar Kossi, Ceo Lopez, Xanana”
Lalu komandan tersebut bertanya lagi siapa yang akan menjemput kamu? Saya menjawab tidak ada seorang pun yang akan menjemput saya. Saya akan menjalankannya sendiri. Segala cara mereka(para SGI dan Polisi) lakukan untuk memaksa saya dapat membongkar semua jaringan klandestin di Dili. Tapi saya menjawab dengan tenang dan sejujurnya bahwa tujuan dari merakit dan memasukan BOM ke Dili Timor Leste untuk menghancurkan pos-pos TNI dan Polisi sesuai dengan Job Discription BN yang di tandatangi oleh Comandante Em Chefe das FALINTIL Kay Rala Xanana Gusmao. Komandan SGI itu berteriak;
“kamu ditanya sekali jawabannya Xanana , Avelino dan Ceo Lopez”
Ketika itu hanya tiga nama yang dapat memberikan saya kesempatan untuk dapat bertahan dan bernapas.
Dan sekali lagi saya ditendang dibagian depan dada saya dan terjatuh kebelakang. Ketika anda ditangkap oleh Polisi atau TNI anda merasa bahwa anda betul-betul orang pribumi yang memperjuangkan suatu kebenaran karena anda adalah Rai Nain Timor nian dan mereka bukan saudara sebangsa se tanah air. Anda akan memiliki keberanian untuk berbicara menentang semua perilaku mereka terhadap anda karena anda berada ditangkap hanya ada dua jalan bagi anda penjara atau mati.
Pemeriksaan dan penyiksaan terus berlanjut sampai pagi pukul 5 dini hari. Pukul 06.00 pagi datanglah kapolres Dili dan berkata kepada saya
“kamu berbicara dan memberikan keterangan yang sebenarnya karena beberapa teman kamu di Demak sudah mati akibat ledakan BOM”
Dan ketiga teman kamu sudah ditangkap sekarang menjalani proses pemeriksaan seperti kamu”
ketika mendengar berita tersebut saya terkejut karena kapolres menyebutkan teman-teman di Demak. Mulai dari situ saya mulai diam dan tidak menjawab pertanyaan mereka selama 3 jam. Ketika itu saya menghadapi dua pemeriksaan, pemeriksaan untuk BAP yang dilakukan oleh dan pemeriksaan dari SGI membongkar jaringan clandistin di Timor Leste. Namun ketika saya ditangkap saya merasa betul sebagai anak bangsa maubere, dan ketika saya disiksa; dipukuli,ditendang dan dibakar dengan sebuntung rokok djie sam soe saya tidak merasakan kesakitan. Ketika saya ditanya dalam pemeriksaan saya selalu menjawab Tidak! Keberanianku untuk mengatakan TIDAK ketika aku diborgol dengan kursi yang saya duduki lalu ditendang, dipukuli dan dibakar dengan rokok oleh para Komando SGI.
Pada hari ke dua tanggal 16 September sekitar pukul 10.00. pagi datanglah seorang pengacara bernama Aniceito Guteres untuk mendampingi saya ketika kasus di bawa ke pengadilan. Ketika itu para polisi memberi kesempatan kepada saya untuk bertemu dengan pengacara saya. Pak(Aniceito Guteres)Pengacara itu bertanya kepada saya;
“anda baik-baik saja?” Saya menjawab;
“Ya saya baik-baik saja pak”.
Keadaan muka saya saat itu memang kelihatan baik-baik saja. Karena semua pukulan dan tendangan diarah ke bagian tubuh saya bukan di muka saya. Setelah bertemu pengacara Aniceito Guteres, saya diberi kesempatan untuk bertemu orang tua saya yang waktu itu datang bersama pengacara tersebut. Orang tua saya waktu itu melihat dengan air mata. Dengan melihat air mata mereka saya berkata kepada mereka;
“Jangan menangis disini, di hadapan para polisi dan SGI, Karena saya ditangkap bukan karena melakukan suatu kejahatan”.
Setelah pertemuan itu pemeriksaan dimulai lagi pada pukul 11.30. teman saya yang ditangkap bersama saya diperiksa terpisah dengan saya. Pemeriksaan itu terus berlanjut sampai tengah malam datanglah para SGI untuk meminta kepada Polres untuk membawa saya ke Kolmera Tempat penahanan gelap SGI yang sangat terkenal pada saat itu untuk diperiksa disana. Namun waktu itu Kapolres Dili tidak memberikan saya ke tangan mereka karena yang menangkap saya bukanlah SGI tapi kepolisian. Dan mereka para komandan SGI tersebut hanya melakukan pemeriksaan terhadap saya di polres Dili sampai pukul 03.00. dini hari. Namun pemeriksaan yang dimulai tengah sampai dini hari itu tidak dengan kekerasan. Mereka hanya bertanya tentang Job Discription BN dalam bahasa portugues yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dan setelah itu saya dibawa ke sel untuk istrihat.
Keesokan harinya, hari ketiga, 17 September pagi dari dalam sel saya melihat para polisi sedang sibuk untuk mempersiapkan upacara kenaikan pangkat. Setelah upacara tersebut datanglah si polisi yang ketika saya turun dari kapal KM TATAMAILAU. Dia menghampiri dan menangkap saya di pelabuhan Dili, namanya pak Sri. Dia menghampiri dan berbincang dengan saya dan memberikan sebungkus rokok Malboro, polisi tersebut berkata;
“Lihat pangkatku sebelum penangkapan anda saya hanyalah seorang kopral sekarang saya sudah berpangkat kapten.”
Dan banyak anggota polisi yang naik pangkat saat itu. Setelah upacara kenaikan pangkat tersebut saya kembali menghadapi pemeriksaan untuk melengkapi BAP saya untuk persidangan. Dengan tindak pidana kejahatan Negara yaitu upaya mencoba menghancurkan NKRI, saya diancam hukuman maximum seumur hidup atau 20 tahun penjara. Setelah pemeriksaan itu keesokan harinya, ICRC akan mengunjungi saya bersama kawan Ajo. Kami disuruh keluar dari sel, mereka para anggota tersebut membersihkan tempat penahanan kami. Sebelum kedatangan ICRC tersebut wakil komandan polisi mendatangi saya dan mengajak saya untuk berbincang meminta saya untuk mengatakan bahwa saya tidak disiksa dalam pemeriksaan. Setelah bertemu ICRC, sore hari itu saya kembali diperiksa oleh SGI mengenai nama-nama dan informasi tentang apa yang disampaikan kepada ICRC dan tentang pembuatan BOM serta keberadaan Kawan Shalar Kosi. Pemeriksaan itu berlangsung dari petang hari hingga dini hari.
Pada 18 September 1997, pagi hari saya disuruh makan dan mempersiapkan diri untuk memberikan permintaan maaf ke publik melalui pusat penerangan ABRI dengan melakukan interview dengan TVRI. Saya diajak ke sebuah ruangan didalam ruangan tersebut dengan dipersiapkan sebuah papan tulis yang bertuliskan;
“Bahwa Saya menyesal atas perbuatan saya karena mengikuti pengaruh Xanana Gusmao pemimpin Teroris GPK-FRETILIN, menggunakan BOM menghancurkan rakyat Timor-Leste.”
Saya disuruh berhadapan dengan papan tulis tersebut dan membaca. Namun ketika itu saya tidak mengikuti tulisan mereka tapi saya berteriak;
“Ketika orang tua atau nenek moyang anda semua(para polisi dan tentara) berjuang untuk kemerdekaan Republik Indonesia menggunakan bambu runcing tetapi kami tidak bisa menggunakan bambu runcing, kami berjuang di zaman modern segala cara dapat kami lakukan untuk mencapai kemerdekaan, termasuk membuat/merakit BOM. Oleh karena itu “kami bukan teroris”
Setelah melihat saya berteriak para polisi membawa saya kembali ke sel. Sore harinya saya diperiksa kembali oleh para SGI tentang Shalar Kosi dan beberapa kawan yang telah meminta suaka di keduataan Austria. Pemeriksaan itu berakhir pada tengah malam. Beberapa jam saya kembali sel untuk beristrihat, datanglah para SGI dengan beberapa Komando dari Jakarta untuk membawa saya keluar untuk menghirup udara segar di malam hari, namun waktu itu Kapolres Dili tidak mengijinkannya. Waktu itu para petugas polisi yang berpiket malam itu tidak mengeluarkan saya. Sekitar pukul 02 dini hari, seorang Komandan SGI tersebut mengatakan pada para polisi tersebut dan berteriak, dia itu seorang kriminal dan teroris sambil melihat ke muka saya yang sedang berdiri dibalik terali besi yang menyaksikan ulah mereka.
Keesokan harinya polisi menangkap tiga orang anak kecil berusia 10 sampai 15 tahun bernama Ambere, Anton dan Aje. Rata-rata mereka baru 10, 12 atau 13 tahun. Ketiga anak muda itu bertemu saya didalam sel itu dan saya bertanya kepada mereka;
“Kenapa kalian ditangkap? Mereka menjawab bahwa kami tidak punya uang sekolah dan terpaksa kami harus mencuri tape mobil untuk jual agar dapat membiayai sekolah kami.”
Lalu saya mengatakan kepada ketiga anak itu bahwa perbuatan itu tidak salah karena kalian mencuri untuk ikut membantu kebutuhan keluarga dan membayar sekolah kalian. Karena setiap saat saya diinterogasi oleh para Polisi dan SGI selalu mengatakan “Integrasi” memberikan kehidupan yang baik kepada semua orang Timor-Timur. Lalu saya berkata kepada ketiga anak itu bahwa sistim politik dan ekonomi yang diterapkan di tanah air kita ini memaksa kita untuk berjuang menentang segala bentuk kolonialismo. Di dunia ini status sosial politik dan ekonomi kita sebagai manusia kalau tidak dihargai maka perjuangan untuk perubahan akan selalu datang dan membawa kita menuju kemerdekaan.
Seteleh berbincang bincang dengan ketiga anak muda itu, setiap hari saya bersama Ajo didatangi polisi Timorense yang akan menggantikan polisi yang lain untuk jam piket. Waktu itu kami tidak punya rokok pak polisi Timorense tersebut memberikan kami rokok dan saya pun menerima dan berbincang dengan polisi Timorense tersebut. Dari polisi tersebut saya menulis sebuah pesan kepada adiknya Xanana Gusmao, Armandinha Gusmao. Pesan itu ditulis di kertas rokok dan dimasukan ke dalam bungkusan rokok tersebut untuk dibawa kepada Mana Armandinha Gusmao. Sebuah pesan pendek dengan memberitahukan bahwa;
“Tidak perlu cemas dan khawatir bahwa semuanya akan baik-baik saja”.
Tiga bulan menjalani pemeriksaan di polres Dili untuk menghadapi proses peradilan Indonesia. Pada ulang tahun tragedy berdarah massacre Santa Cruz 12 November 1997 terjadi penangkapan terhadap para mahasiswa UNTIM di Kaikoli Dili. Para mahasiswa tersebut ditangkap ketika sedang melakukan peringatan HUT massacre 12/11/91 yang ke 6 dan dibawah dengan mobil BRIMOB ke Polres Dili dengan berlumuran darah. Ini adalah kesaksianku yang ketiga kalinya setelah saya berumur 21 tahun setelah berada dibalik terali besi.
Proses Persidangan Saya adalah Kampanye Politik untuk Kemerdekaan dan Perjuangan Terus berlanjut di Penjara Becora
Tiga bulan dan beberapa minggu saya ditahan dan diperiksa di polres Dili, saya dipindahkan ke Penjara Bekora. Ketika saya bersama Ajo dipindahkan ke Bekora, kami disambut dengan gembira oleh para tahanan politik yang berada disana. Para tahanan politik tersebut teman seperjuangan yang melakukan aksi penyerangan militer di markas BRIMOB Cacaulidun dan para teman-teman yang berdemonstrasi di hotel Timor ketika kunjungan utusan khusus PBB Jamshed Marker. Rata-rata dari mereka menjalani hukuman dibawa 5 tahun penjara.
Ketika saya bersama kawan Ajo tiba di penjara Bekora, para teman-teman menyambut kami dengan teriakan;
Viva Timor Leste!
Viva FALINTIL!
Viva Comandante Xanana Gusmao!
Viva Constancio dos Santos alias Aquita!
Patria ou Morte!
A luta continua!
Mendengar teriakan tersebut, saya yang waktu itu telah diancam dengan hukuman seumur hidup merasa bahwa hukuman seumur hidup penjara tidak berarti bagi saya karena sekalipun di penjara semangat kami tidak akan pernah mati dan kemerdekaan itu pun tidak akan pernah mati selama rakyat kita masih bernapas, perjuangan itu tidak akan pernah berhenti. Karena sebagai rakyat yang ditindas sadar akan tempat dimana kita berada, bahwa sebenarnya yang ada dalam penjara bukanlah kami para generasi muda yang berstatus tahanan politik tetapi seluruh rakyat bangsa kita berada di balik terali besi dan diujung senjata penjajah. Karena saya sadar bahwa bagi orang Timor Leste yang terlibat dalam perjuangan untuk kemerdekaan hanya ada 3 jalan Hidup, Mati atau dipenjara. Lalu saya berteriak “Patria ou Morte!” A Luta Contra kolonialismo!!
Pertama kali saya dihadapkan dihadapan para Majelis Hakim saya merasa bahwa sebenarnya bukanlah saya atau rakyat Maubere yang diperlakukan sedemikian rupa tetapi mereka para kolonialis, Invasor penguasa regim Diktator Soeharto dan para jenderal ORDE BARU yang harus dihadapkan pengadilan International atas Invasi 7 Desember 1975, Pembantaian dan Penculikan.
Ketika saya bertatapan mata dengan Majelis Hakim, saya ditanya;
”Apakah saudara terdakwa sehat-sehat saja? Saya menjawab “saya sehat dan siap menghadapi sandiwara politik ini”.
Setelah mendengar jawaban tersebut, lalu hakim tersebut melanjutkan pertanyaan “saudara tahu bahwa mengapa saudara dihadapkan ke pengadilan ini?
” saya menjawab; “Ya” Saya tahu bahwa saya dihadapkan di pengadilan ini karena melakukan tindak pidana makar dan mencoba merongrong Negara kesatuan republik Indonesia dan tidak pernah diakui oleh dunia Internasional”.
Intergrasi Timor-Timur yang tidak pernah diakui oleh PBB. Setelah itu Hakim tersebut memberikan kesempatan ke pada jaksa penuntut umum untuk membacakan dakwaan tuntutan terhadap saya, bahwa berdasarkan fakta yang ada bahwa saudara terdakwa telah melakukan tindak pidana kejahatan makar memcoba untuk merongrong negara kesatuan republik Indonesia dan memisahkan diri dari NKRI. Sesuai dengan pasal sekian ayat sekian saudara dituntut hukuman maximal seumur hidup dan minimal 20 tahun penjara.
Setelah itu sidang ditunda untuk minggu berikutnya guna mendengar eksepsi atau tanggapan dari saya sebagai terdakwa. Dua minggu setelah itu saya dihadapkan kembali ke pengadilan untuk menyampaikan eksepsi atau tanggapan saya terhadap tuntutan tersebut.
Berikut ini copy Eksepsi saya:
EKSEPSI
Untuk dan atas nama Pribadi
I. Pendahuluan
Bapak Hakim yang terhormat,
Saya berterima kasih atas kesempatan yang diberikan. Sambil berbicara dan menyampaikan keberatan/eksepsi ini kepada Bapak Hakim atas Dakwaan yang dibacakan oleh saudara Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 30 Desember 1997 yang lalu. Namun pertama-tama saya memberi penghormatan untuk mengenang ribuan rakyat Timor Timr yang mati sejak invasi dan pendudukan militer Indonesia pada 7 Desember 1975 terhadap Bangsa dan Tanah Air kami Timor Timur, dan bagi mereka yang dalam memberi berbagi pembantaian dari tahun 1977-1979 di gunung Matebian, dikampung Karacas Viqueque pada tahun 1981 dan pada mereka yang mati dalam pembantaian yang sangat mamalukan pada 12 November 1991 di Dili Santa Cruz, serta mereka yang ditangkap dan dihilangkan.
Pengorbanan ribuan rakyat Timor Timur sejak Invasi dan Pendudukan Militer Indonesia terhadap Bangsa dan Tanah-Air Kami merupakan sumbangan besar bagi kemajuan dalam kesadaran Internasional maupun nasional mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) dan dalam mekanisme perlindungan PBB.
Tidak adanya alasan apapun yang valid untuk menjadi satu mata rantai dapat membenarkan Pencaplokan Pemerintah Indonesia atas Bangsa dan Tanah-Air Kami Timor Timur baik dasar historis, kultural, kesamaan etnis maupun geografis.
Hak untuk menentukan nasih sendiri merupakan suatu hak yang mutlak dan hak mutlak itu tak dapat dinegosiakan oleh negara oleh manapun karena Hak Azasi Manusia (HAM) erat terkait dengan penentuan nasib sendiri suatu bangsa. (Tentang Penangkapan dan Pemeriksaan Terlampir).
II. Tentang Keberatan/Eksepsi.
1. Kewarganegaraan.
Dalam menyampaikan keberatan/Eksepsi ini, saya tidak akan mengatakan bahwa saya bukan warganegara Indonesia atau warganegara Portugal. Namun hari ini saya ingin mengingatkan kembali Bapak Hakim dan Saudara Jaksa Penuntut Umum akan posisi Pemerintah Indonesia dalam masalah Timor Timur.
Dalam pemeriksaan di POLRES saya terpaksa harus berperilaku seorang Indonesia Asli karena saya tahu bahwa setiap orang Timor Timur yang ditangkap oleh militer Indonesia dengan kasus yang berkeadilan oleh satu pemerintah sama, satu pemerintah yang datang dengan sistem yang sama, sistem kolonialisme, namun daripada kolonialisme sebelumnya. PBB tidak pernah mengakui pendudukan Militer Indonesia pada 7 Desember 1975 atau Pencaplokan secara paksa oleh pemerintah Indonesia atas Bangsa dan Tanah-Air Kami Timor Timur. Dan PBB tidak pernah mengakaui INTEGRASI yang di REKAYASA oleh para jenderal-jenderal dibawah pimpinan jenderal SOEHARTO, pada 7 Juli 1976 (di) yang dikenal dengan Deklarasi Balibo. Oleh sebab itu dimata Hukum Internasional Portugal masih diakui oleh PBB.
Sebagai potensi administrasi atas bangsa dan Tanah Air Kami Timor Timur.
2. Perintah.
Bom yang kami rakit di Semarang atas Perintah Panglima Tertinggi FALINTIL KAY RALA XANANA GUSMAO dengan tujuan untuk memperkuat barisan perlawanan di front militer FALINTIL.
Setelah bom itu dirakit di Semarang Perintah Panglima Tertinggi FALINTIL Kaya Rala Xanana Gusmao untuk membawa bom tersebut ke Dili - Timor Timur untuk menyerahkan kepada FALINTIL di hutan guna menghancurkan Militer Indonesia diberbagai tempat di Timor Timur. Sesuai Perintah Panglima Tertinggi FALINTIL Kay Rala Xanana Gusmao Bom itu bukan digunakan untuk membunuh Rakyat sipili baik rakyat Indonesia maupun rakyat Timor Timur sendiri.
Sama sekali tidak ada niat untuk membunuh rakyat sipil atau bermaksud untuk menggalkan dan membunuh seorang Gubernur seperti Abilio Osorio seperti yang dikampanyekan oleh pemenritah Indonesia.
Tujuan dari perjuangan FALINTIL dan pasukan khususnya BRIGADA NEGRA untuk mempertahankan Bangsa dan Tanah-Air Kami Timor Timur, dan membebaskan Rakyat Timor Timur dari kekuasaan Bersenjata Pemerintah Indonesia di Timor Timur.
Kami bukan TERORIS, seperti yang dikampanyekan oleh Pemerintah Indonesia selama ini dan Pemerintah Indonesia tidak akan bisa MEMBODOHI MASYARAKAT INTERNASIONAL dengan mengunakan ISTILAH TERORIS. Untuk MENCAP kami GERILYAWAN yang memperjuangkan kemerdekaan sebagai TERORIS karena Timor Timur masih dalam Daerah Perang, sehingga kami akan bisa mengunakan segala macam cara yang bisa kami tempuh demi tercapainya ASPIRASI POLITIK Kami Timor Timur.
3. Kejahatan =MAKAR= yang hendak memisahkan sebagian dari wilayah Repbulik Indonesia.
Penyerbuan besar-besaran Militer Indonesia pada 7 Desember 1975 terhadap Bangsa dan Tanah - Air kami Timor Timur yang secara Ilegal merupakan kejahatan yang terbesar di Kawasan Asia Tenggara dan Presiden Soeharto adalah Aktor utama dari penyerbuan tersebut dan juga sebagai seorang penjahat perang di Timor Timur.
Hendak memisahkan sebagian dari wilayah Republik Indonesia.
Dinegara/Bangsa manapun tidak akan ada satu rakyat pun yang bisa mengerti apabila bangsa dan rakyatnya diklaim, dicaplok secara paksa oleh satu negara asing dengan kekuatan militer yang begitu besar, melalui satu penyerbuan dari darat, udara laut terhadap Bangsanya yang kecil dan lemah.
Begitu juga dengan kami Rakyat Timor Timur kami tidak akan pernah bisa mengerti karena Bangsa dan Tanah-Air Kami diklaim, dicaplok kedalam pangkuan Republik Indonesia melalui satu penyerbuan yang besar-besaran dari darat udara dan laut pada 7 Desember 1975, suatu penyerbuan yang sangat memalukan terhadap Bangsa dan Tanah-Air Kami yang kecil dan lemah.
Bapak Hakim yang Terhormat,
Untuk kami Rakyat Maubere hidup kami sudah ditentukan tidak ada dan tidak akan ada alternatif lain Negara atau MATI.
III. Penutup ​
Berdasarkan uraian-uraian diatas maka saya berkesimpulan bahwa;
- Kami bukan Teroris
- Semua kigiatan yang kami lakukan atas satu Perintah Yaitu Perintah Panglima Tertinggi FALINTIL Kay Rala Xanana Gusmao.
- Bom yang kami rakit di Semarang dengan tujuan untuk memperkuat Barisan Perlawanan difront Bersenjata (di) FALINTIL di HUTAN, guna menghancurkan militer Indonesia di berbagai tempat di Timor Timur.
Bom yang kami buat dan rakit bukan digunakan untuk membunuh rakyat sipil baik Rakyat Indonesia maupun rakyat Timor-Timur sendiri.
Berdasarkan atas kesimpulan di atas maka saya menyatakan bahwa saya bersedia diadili, apabila Panglima Tertinggi FALINTIL KAY RALA XANANA GUSMAO (harus) dihadirkan dalam setiap kesaksian pada saat saya (diadili). Saya tidak akan hadir dalam sidang apabila Panglima Tertinggi FALINTIL KAY RALA XANANA GUSMAO tidak dihadirkan. Karena beliau yang bertanggungjawab atas semua kegiatan ini (dalam hal Bom) Dan kami sebagai anggota hanya melaksanakan perintah dari Panglima Tetinggi FALINTIL KAY RALA XANANA-GUSMAO.
Lembaga Pemasyarakatan Becora DILI TIMOR TIMUR
Terdakwa yang tidak adil Constantio da Costa dos Santos alias Aquita
Setelah selesai membaca eksepsi siding hari itu ditunda untuk mendengar replik dari jaksa penuntut umum. Hari berikutnya saya mulai melakukan mogok sidang saya tidak datang kepengadilan, proses persidangan terhadap ditunda tanpa kehadiran saya. Penundaan proses persidangan yang memakan waktu dua minggu itu untuk menunggu respon dari Jakarta apakah akan menghadirkan Kay Rala Xanana Gusmao atau tidak. Namun ketika itu Jakarta tidak mengijinkan Kay Rala Xanana Gusmao untuk keluar dari Cipinang menuju ke Dili.
Persidangan berikutnya saya dihadirkan dalam proses persidangan tanpa saksi utama namun saya melakukan mogok bicara dalam beberapa kali persidangan yang berlangsung. Namun ketika jaksa penuntut umum akan menyampaikan tanggapan/replik terhadap eksepsi saya karena begitu banyaknya kasus para tahanan politik yang harus disidangkan, proses persidangan saya ditempatkan diruang persidangan kasus kriminal sebuah ruangan sidang yang kecil dan tidak memungkinkan para pengunjung sidang untuk ikut menyaksikan berlangsungnya sidang. Namun waktu itu saya merobek surat replik yang disampaikan dan diberikan oleh jaksa penuntut umum kepada saya.
TERDAKWA CONSTANCIO ROBEK REPLIK JAKSA
DILI (MateBean, 22/1/98),
Terdakwa aktivis Falintil perakit bom di Semarang, Constancio da Costa dos Santos alias Aquita merobek-robek replik jaksa di Pengadilan Negeri Dili, Rabu (21/1/98) kemarin. Tindakan Constancio itu mengejutkan para pengunjung sidang. Juga Jaksa Penuntut Umum I Eko Purwanto SH dan Hakim Ketua I Made Nandu SH.
Seraya menggelar spanduk yang tidak begitu jelas tulisannya, Constancio meneriakkan yel-yel prokemerdekaan Timor Timur.
"Sampai kapan pun perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan Timor Timur pasti akan tercapai," teriaknya.
"Kami bukan teroris yang akan membunuh rakyat tidak berdosa, Kami hanya berjuang untuk kemerdekaan Timor Timur," lanjutnya.
Insiden tersebut berakhir setelah aparat keamanan Indonesia merampas spanduk dan memaksa Constancio untuk segera meninggalkan ruang sidang. Di luar ruang sidang Constancio yang didampingi penasehat hukumnya terus meneriakkan yel-yel pro-kemerdekaan;
“ cepat atau lambat setiap bangsa yang ditindas pasti akan mendapatkan kemerdekaan karena itu adalah hukum sejarah yang tak dapat digangu gugat”.
Pada sidang sebelumnya Constancio tetap mengakui bahwa perakitan bom di Semarang itu adalah tas perintah panglima tertinggi Falintil, Kay Rala Xanana Gusmao, yang kini mendekam di penjara Cipinang, Jakarta Timur.
Constancio dan rekannya Paulo George Rodrigues Pareire ditangkap di Pelabuhan Dili pada 15 September 1997 lalu. Dari tangan Constancio aparat keamanan Indonesia menyita 20 bom rakitan, 76 butir amunisi untuk M-16, pistol Colt dan FN 45 serta buku-buku tentang Xanana Gusmao, Nelson Mandela, dan Manifesto Politik Partai Sosialis Timor.
Selain itu disita kaos bergambar Conis Santana, jaket berlambang bendera Fretilin, tape recorder, kaset rekaman, handycam, arloji, telepon seluler, kacamata, dan sejumlah foto terdakwa yang sedang mewawancara Ramos Horta.***
Constancio da Costa tore apart district attorney's paper
MateBEAN - January 22, 1998
Dili --
The accused Falintil bomb-maker, Constancio da Costa dos Santos alias Aquita, tore apart the District Attorney's official response paper on Wednesday 21 January, 1998. The incidence that took place in the courtroom of Dili State Court surprised Judge I Made Nandu and District Attorney Eko Purwanto and the audience packed in the courtroom. He then, unfurled a banner with writings on it and yelled pro independence slogans. "We will not stop fighting," he yelled loudly. "We are not terrorists who attempt to kill people arbitrarily. We only fight for the independence of East Timor!"
Security officers grabbed the banner and forced Constancio to leave the Courtroom. Outside the room, accompanied by his lawyer, Constancio still yelled pro-independence slogans. On his hearing before, Constancio was firm holding his statement that the bomb was made under the instruction of the Falintil Commander in Chief, Kay Kala Xanana Gusmao, now imprisoned in Cipinang Correctional Institution, Jakarta Military intelligence arrested Constancio and his comrade in arms, Paulo George Rodrigues Pareira, on 15 September 1997 aboard a ship anchored in Dili harbor. They confiscated 20 homemade bombs and 76 M-16 assault rifles and .45 caliber FN pistol bullets. They also confiscated books on Xanana Gusmao, Nelson Mandela, and a Political Manifesto of the Socialist Party Timor.
Among other things, they also found a T-shirt with Conis Santana picture on it, videocassettes, a handycam, wristwatches, a cellular handphone, a sunglass, and photographs of Constancio interviewing Ramos Horta.
Setiap kali sebelum saya dibawah ke pengailan saya menjalani proses pemeriksaan yang ketat di LP Bekora dan sampai pengadilan pun saya selalu diperiksa karena saya selalu membawa spanduk. Namun ketika itu spanduk yang saya bawa tidak diikat dipingang saya dengan menyisip didalam kemija yang saya pakai. Namun ketika itu spanduk yang saya bawah diikat lengan saya dengan mengunakan kemija lengan panjang. Ketika menghadapi pemeriksaan dipengadilan saya ditelanjangi oleh para intel-iersebntel SGI dan para polisi diruang tunggu namun kemija yang saya pakai hanya disuruh buka semua kancingannya namun tidak disuruh untuk kasih keluar kemija tetapi karena kemija itu hanya disuruh buka dan saya pun mengangkat kemija tersebut mereka tidak menemukan spanduk tersebut karena spanduk tersebut tersembunyi dan diikat dilengan saya. Lalu saya Dibawa masuk ke ruang sidang untuk diadili sebelum hakim ketua tersebut membuka sidang hakim tersebut bertanya pada saya;
“apakah saudara terdakwa sehat-sehat saja?” ketika itu saya memjawab; “saya Muak”
Setelah itu hakim tersebut melanjutkan proses persidangan tersebut. Dengan memberikan kesempatan kepada pengacara saya Aniceito Guteres(Sekarang anggota Parlemen Nasional dari fraksi Partai FRETILIN) untuk memyampaikan keberatannya terhadap dakwaan terhadap saya dan meminta untuk memberikan kesempatan kepada klien nya untuk menyampaikan Pleido pembelaan. Ketika setelah mendengar semuanya saya langsung mengeluarkan spanduk dan membukanya didalam proses persidangan sebelum hakim tersebut menutup dan menunda sidang tersebut.
Spanduk yang saya bawah bertuliskan;
“Atas perintah Comandan tertinggi FALINTIL Rakyat Maubere bersatulah untuk memilih kemerdekaan dalam proses selft determination “Referendum” dan berteriak “Proses Demokratisasi di Indonesia adalah jalan menuju kemerdekan di Timor Leste”
Selain membuka spanduk, saya selalu berteriak di dalam berlangsungnya proses persidangan “cepat atau lambat setiap bangsa yang dtindas pasti akan mendapatkan kemerdekaan karena itu adalah hukum sejarah yang tidak dapat dipungkiri”
Viva Timor Leste!
Patria ou Morte!