Total Pageviews

Translate

Friday, December 28, 2012

Tentang Tama laka Aquita Nofi Part 3 Di Kuburan Santa Cruz bersama Saudoso Pai-Zitu alias Sarleu

“Viva Timor Leste Independente”.
Walaupun hanya berlangsung beberapa menit, teriakan itu terus dan terus didengar oleh seluruh dunia. Dan ini adalah tekad kami untuk perjuangan sampai titik darah penghabisan.
Setelah aksi 12/10/1989 tersebut beberapa kawan-kawan telah mulai teridentifikasi oleh para intelegen ABRI. Dan terjadi penangkapan terhadap beberapa kawan-kawan lama yang telah teridentifikasi. Dari kunjungan kedubes AS dan kunjungan Paus Yohanes Paus II, kami terus menggunakan segala momentum perayaan misa besar kunjungan para wakil dari gereja katolik dari Roma atau dari Negara mana saja setiap kali ada perayaan misa dengan kehadiran beberapa wartawan asing kami selalu berteriak;
‘Viva Timor Leste Independente!!!.
Demonstrasi 12 oktober 1989 menyambut kunjungan Paus Yohanes Paus II Tasi Tolu 20/08/1990
Di Kuburan Santa Cruz bersama Saudoso Pai-Zitu.
Pada pagi hari yang cerah dengan sinar matahari dan awan yang terang serta diiringi dengan udara yang segar di pagi hari dan diiringi juga dengan hembusan angin di pagi hari, ketika itu, bendera nasional RDTL dikibarkan di atas Capela yang berada ditengah kuburan Santa Cruz. Pengibaran bendera tersebut bertepatan dengan hari jadinya FALINTIL yang ke 15, yang jatuh pada 20 Agustus 1990. Seperti kebiasaan umat Katolik di Timor-Leste selalu mengikuti misa ritual bagi para arwah di kuburan pada setiap hari senin pagi.
Tak seorangpun yang tahu tentang siapa yang mengibarkan bendera nasional tersebut. Entah itu adalah sebuah trik dari para intel-intel yang dengan sengaja mengibarkan bendera tersebut agar dapat memancing kawan kawan seperti Pai-Zitu yang saat itu sedang bersembunyi untuk keluar dari persembunyian atau pengibaran bendera nasional itu hanya memprovokasi situasi.
Waktu itu saya sedang berada di rumah, rumah saya berada dibelakang taman makam pahlawan (kuburan untuk Tentara Nasional Indonesia) yang berhadapan dengan kuburan Santa Cruz, Pai-Zitu yang waktu itu bersembunyi dirumah pastor di Externato de Sao Jose.
Pai-Zitu sebenarnya adalah salah satu dari kawan lama yang waktu itu sedang dicari oleh polisi dan TNI (ABRI-SGI), karena keterlibatannya dalam demonstrasi di Hotel Tourismo ketika kunjungan Kedubes America dari Jakarta, dan demonstrasi ketika kunjungan Paus Yohanes II pada 12 Oktober 1989.
PAI-ZITU sebenarnya adalah anak dari mantan anggota DPRD bapak Frederico Almeida yang juga adalah pendiri APODETI. Ketika kami sedang berbincang-bincang, Pai-Zitu memotret Bendera Nasional yang dipasang diatas Capela tersebut.
Beberapa saat kemudian datanglah sebuah mobil Patroli GARNISUN dari KORAMIL Dili dan dua motor yang dikendarai oleh dua anggota SGI (Satuan Gabungan Intelegen) mereka datang dan langsung menuju ke Capela tersebut untuk menurunkan bendera nasional tersebut. Namun kawan Pai-Zitu terus memotret mereka dan akhirnya kami dikejar oleh para GARNISUN dan SGI tersebut karena mereka telah mengetahui yang memotret mereka adalah PAI-ZITU yang selama itu mereka cari. Dan Pai-Zitu menyerahkan kamera tersebut kepada saya untuk membawa lari dan saya pun terus berlari. Ketika saya terus berlari para tentara patroli berteriak;
“hey berikan kamera itu kepada kami”
Namun saya tidak peduli dengan teriakan mereka dan terus berlari dan para tentara yang berpatroli tersebut melepaskan tembakan ke arah saya. Akan tetapi peluru tersebut hanya melewati punggung saya dan menyentuh diatas aspal. Ketika itu semua orang yang berada disana serta keluarga yang menyaksikan kejadian tersebut dan tahu bahwa saya telah mengalami luka akibat tembakan tersebut.
Mereka hanya berdoa dan berharap saya akan kembali dengan keadaan baik. Ketika saya kembali ke rumah pada sore hari dalam keadaan baik dan tidak ada luka sedikit pun. Kejadian itu merupakan perpisahan dan pertemuan saya yang terakhir dengan kawan Pai-Zitu. Setelah kejadian tersebut Pai-Zitu akhirnya melarikan diri ke hutan bergabung dengan FALINTIL.
Saya mengenal Pai-Zitu ketika setelah demonstrasi pertama menyambut kunjungan Dubes AS di hotel Tourismo setelah aksi tersebut Pai-Zitu termasuk beberapa teman yang ditangkap karena melampiaskan kemarahannya terhadap para anggota TNI yang sedang berpatroli dengan memaki dan menunjukkan jari tangannya terhadap para TNI.
Namun ketika itu, Pai-Zitu bersama Marcio dan Janio Mau mean(Lobato) ditangkap oleh polisi namun setelah beberapa hari Marcio dan Janio Lobato dibebaskan dan pai-Zitu masih ditahan di Polwil lama (Mercado lama). Ketika itu memasuki aksi hari kedua Pai-Zitu yang melihat kita sedang berpawai itu melarikan diri dan bergabung dengan para demonstran yang sedang melakukan longmarch keliling kota Dili.
Longmarch tersebut berakhir dengan damai di Licedere didepan patung Bunda Maria do Rosario. Waktu itu pemimpin tertinggi militer Indonesia di Timor Leste dipimpin oleh Brigjen Rudolf Warrou, seorang perwira tinggi TNI yang sangat religious.
Namun tidak lama kemudian Rudolf Warou diganti dengan Brigjen Theo Safei, seorang perwira tinggi TNI yang berasal dari Pulau Sumatra. Dengan pergantian tersebut operasi intelegen ditingkatkan dengan nama SGI dan operasi GARNIZUN oleh KODIM di tiadakan. Dan kemudian muncul organisasi pemuda penegak integrasi seperti GADAPAKSI, dan Pemuda Pancasila yang dikomandani oleh Ahmad Alkatiri (Adik Kandung Marie Alktiri).
Selain pendirian organisasi penegak Integrasi melalui pemuda pancasila bekerja sama dengan sebuah yayasan yang dipimpin oleh anak presiden Soeharto Sitihardyanti Rukmana mulai melakukan program pengiriman tenaga kerja ke pulau-pulau di Indonesia. Banyak pemuda Timor-Leste yang dikirim ke pulau-pulau di Indonesia itu dengan tujuan utama untuk mengurangi pemuda di Timor-Leste dan sebagai upaya untuk menjinakkan kekuatan pemuda agar tidak terlibat dengan kegiatan klandestin di kota.
Pai-zitu adalah sosok seorang pemuda yang berani dan juga sebagai inspirator bagi semua pemuda Timor-Leste yang lahir dan dibesarkan di masa pendudukan militar Indonesia. Keberanian dan semangat juang hidupnya mengubah pergaulan hidup semua teman-teman yang dekat dengan Pai-Zitu.
Gaya hidup Pai-Zitu tidak seperti anak-anak pejabat integrasionis yang lain. Gaya hidup Pai-Zitu adalah seperti seorang Gerilyawan yang bergerilya di kota. Dari gaya hidup Pai-Zitu saya mulai belajar banyak tentang bagaimana berperilaku sebagai seorang aktivis dan bagaimana bersikap terhadap sesama teman pada waktu itu. Seperti kata Pai-Zitu ketika berkunjung kerumah saya dan berbincang-bincang dengan ayah saya;
“Generasi kami adalah generasi yang berjuang dengan tangan bersih, karena itu kami harus bersatu dalam setiap aksi tanpa melihat latarbelakang orang tua kami”. Bagi kami tidak ada perbedaan antara Portugal dan Indonesia, kolonialisme adalah tetap kolonialisme, dan kolonialisme itu adalah merupakan pemecah-belah”.
(Geracao ida ami nian ne lao hamutuk tamba ami nian liman mos, tamba ne mak ami hamutuk iha accao saida deit hasoru inimigo lahare ba aman sira pasado hodi luta hasoru kolonialismo foun nebe iha ita nian rain Pai-Zitu repete liafuan kolonialismo sempre kolonialismo. Kolonialismo mak divisionismo)
Pai-zitu(saraleu) sebagai contoh bagi kita generasi muda dengan semangat juang dan spirit nasionalisme dan patriotismenya terhadap bangsa dan tanah-air tidak melihat pada masa lalu generasi tua kita, Pai-Zitu sebagai geneasi muda telah memberikan kita suatu pelajaran akan persatuan kita sebagai generasi muda harus bersatu dalam perjuangan untuk berjuang mengakhiri penindasan yang dilakukan oleh kolonialisme baru diatas tanah-air kita menuju pembebasan nasional bangsa kita.